diktat PIH (bab 1)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum
Dipandang dari sudut gramatikal (tata bahasa), Pengantar Ilmu Hukum yang selanjutnya disingkat dengan PIH, terdiri dari tiga kata, yakni: “pengantar” yang berarti membawa ketempat yang dituju. Dalam bahasa Belanda juga dikenal dengan istilah “Inleiding” dan dalam bahasa Inggris dengan istilah “Introduction” yang berarti memperkenalkan. Kemudian “Ilmu” yang dikenal dengan istilah “science” (Inggris) berarti pengetahuan tentang sesuatu hal yang dipelajari dengan metode tertentu. Selanjutnya “Hukum” dikenal dengan istilah “Recht” (Belanda) dan “Law” (Inggris) yang berarti aturan. Dengan demikian pengertian Pengantar Ilmu Hukum (PIH) menurut artian tata bahasa adalah “Ilmu pengetahuan yang mengantarkan atau memperkenalkan aturan-aturan”.
Pengantar Ilmu Hukum kerapkali dalam dunia studi hukum dinamakan “Ensiklopedia Hukum” yang berusaha menjelaskan tentang maksud dan tujuan dari dasar-dasar hukum.
Istilah Pengantar Ilmu Hukum sebenarnya tidak tercipta begitu saja. Secara historis istilah ini berasal dari terjemahan bahasa Belanda “Inleiding tot de rechtswetenschap” yang dimasukan dalam Hoger Onderwijs Wet, yaitu Undang-Undang Perguruan Tinggi Belanda pada tahun 1920.
Istilah Inleiding tot de rechtswetenschap tersebut merupakan pengganti dari istilah “Encyclopaedie der rechtswetenshap” yang semula dipergunakan di Negeri Belanda. Istilah ini merupakan terjemahan dari “Einfuhrung in die rechtswissenschaft” (Jerman) yang dipergunakan pada akhir abad 19.
Di Indonesia istilah Inleiding tot de rechtswetenschap telah dikenal sejak tahun 1924 dengan didirikannya Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (Jakarta). Dalam perkembangan selanjutnya istilah itu tidak dipakai lagi, namun dipakai istilah Pengantar Ilmu Hukum yang pertama kali digunakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (Yogyakarta) pada tahun 1946.

B. Peran dan Fungsi PIH
Sebagaimana telah penulis gambarkan dalam pengertian di atas, Pengantar Ilmu Hukum itu berperan mengantarkan atau memperkenalkan ilmu hukum sebelum seseorang mempelajari ilmu hukum atau hukum itu sendiri secara mendalam. Peran PIH di sini tentunya tidak terlepas dari fungsi PIH itu sendiri, yaitu berusaha untuk menjelaskan tentang keadaan, inti, maksud dan tujuan dari persoalan-persoalan penting hukum dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan hukum.
Tanpa mempelajari dan memahami Pengantar Ilmu Hukum (PIH) secara tuntas dan seksama, maka mustahil seseorang dapat mengetahui seluk-beluk dari ilmu hukum dan pada akhirnya tidak dapat memahami hukum dengan segala bentuk manifestasinya. Jadi Pengantar Ilmu Hukum merupakan akar pertumbuhan dari suatu pohon hukum. Tidak kuat suatu akar pohon, maka tidak akan baik pula pertumbuhan pohon tersebut dan akhirnya akan mudah tumbang.
C. Ruang Lingkup PIH
Secara garis besarnya, ruang lingkup pembahasan Pengantar Ilmu Hukum dalam tulisan ini dibagi dalam beberapa bab, antara lain:
Bab I (satu) merupakan bab Pendahuluan, yang di dalamnya akan dikemukakan pengertian pengantar ilmu hukum, peran dan fungsi pengantar ilmu hukum dan ditutup dengan ruang lingkup pengantar ilmu hukum.
Bab II (dua) tentang pengertian hukum, yang didalamnya akan digambarkan pengertian hukum dari segi etimologi, defenisi hukum dari beberapa pakar serta hukum dalam berbagai arti.
Bab III (tiga) tentang peran, fungsi dan Tujuan Hukum, antara lain akan dibahas peranan hukum dalam masyarakat dan fungsi hukum dalam berbagai kepentingan serta Tujuan Hukum menurut pendapat pakar hukum.
Bab IV (empat) tentang sumber hukum, yang di dalamnya akan dibahas sumber hukum dalam pengertian materiel dan sumber hukum dalam pengertian formal.
Bab V (lima) tentang subjek dan objek hukum, di dalamnya akan dibahas pengertian subjek dan objek hukum, manusia sebagai subjek dan objek hukum serta badan hukum sebagai subjek hukum.
Bab VI (Enam) tentang peristiwa hukum, antara lain berisi tentang pengertian peristiwa hukum, macam-macam peristiwa hukum dan peristiwa hukum menurut isinya.
Bab VII (Tujuh) tentang hubungan hukum, antara lain berisi pengertian hubungan hukum, segi hubungan hukum, unsur-unsur hubungan hukum, syarat hubungan hukum dan jenis hubungan hukum.
Bab VIII (Delapan) tentang penafsiran (interpretasi) hukum, antara lain berisi tentang pengertian penafsiran hukum dan jenis penafsiran hukum
Bab IX (sembilan) tentang kodifikasi dan unifikasi hukum, antara lain berisi tentang pengertian kodifikasi dan unifikasi hukum, sejarah kodifikasi dan tujuan kodifikasi hukum.
Bab X (Sepuluh) tentang hak, yang antara lain akan dibahas mengenai teori hak, macam-macam hak dan penyalahgunaan hak.
Pada akhirnya inleiding Ilmu Hukum ini penulis tulis dengan tujuan untuk membantu para mahasiswa tingkat dasar agar lebih mudah memahami hukum secara umum , singkat dan mudah dimengerti.
Penulisan diktat pengantar ilmu hukum ini masih akan berlanjut dengan pembahasan-pembahasan lain yang belum sempat dimasukkan mengingat keterbatasan waktu dan kesempatan penulis.
Pada edisi selanjutnya akan dibahas beberapa hal yang lebih rinci tentang hukum, antara lain tentang aliran hukum, mazhab ilmu hukum, kontruksi hukum positif Indonesia, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum internasional dan beberapa bentuk hukum yang dikenal dalam ilmu hukum.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

diktat hukum pidana

BAB I
PENDAHULUAN

A. RIWAYAT BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Untuk memahami hukum pidana para teoris, praktisi dan mahasiswa mau tidak mau harus mempelajari buku-buku asing. Hal ini disebabkan karena kita belum mempunyai hukum pidana yang disusun oleh bangsa kita sendiri. Terutama sekali kita pelajari hukum pidana dari negeri Belanda. Paling tidak kita harus mempelajari buku-buku hukum pidana yang telah diterjemahkan kedalam bahasa kita, dan buku-buku tulisan hukum pidana oleh pakar hukum pidana Indonesia.
Pada waktu kita memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang kita cintai, di dalam aturan peralihan pasal II UUD 1945, menyatakan bahwa :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, karena aturan peralihan adalah untuk menjaga jangan sampai terjadi kekosongan hukum (rechtsvacum), maka KUHP yang berlaku di Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku. Hal inipun disebabkan, KUHP negeri Belanda berlaku di Hindia Belanda, ileh karena adanya ketentuan dari pasal 75 Regering Reglement (RR) yang menentukan bahwa :Hukum Pidana yang berlaku di Hindia Belanda harus sesuai dengan hukum pidana yang berlaku dinegeri Belanda, sekedar dengan perubahan atau penambaahan yang dianggap perlu oleh keadaan setempat (Hindia Belanda).
Azas yang terdapat dalam pasal 75 RR disebut concordantie Beginselen. Setelah pasal 75 RR diganti dengan IS, yang tertuang dalam pasal 131 IS. Karena pasal 31 IS, dan pasal 11 Aturan peralihan UUD 1945 ini, maka sampai dewasa ini KUHP negeri Belanda itu masih tetap dipelajari dan diterapkan terhadap pelanggannya, dengan beberapa perubahan, penghapusan dan penambahan berdasarkan palsafah hidup bangsa Indonesia.

1. Riwayat Pembentukan KUHP di Negeri Kita
Mula-mula hukum pidana yang berlaku di negeri kita (Hindia Belanda) adalah hukum pidana tidak tertulis. Sejak pemerintah Hindia Belanda di Batavia barulah kita mengenal hukum pidana tertulis, yang terdiri dari peraturan-peraturan sebagai berikut :
a. De Bataviasche Statutean (1642), yang memuat hukum pidana khusus.
b. Intermaire Strafbefaligen (1848), yang mengatur beberapa hukum pidana khusus.
c. Het Wetboek van Strafrechvoor De Eurofeanen (S. 1866: 55). KUHP ini hanya belaku bagi golongan Erofah dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1867.
Ketentuan butir a dan b diatas berlaku bagi golongan Erofah. Bagi penduduk asli berlaku hukum Adat (hukum tidak tertulis). Baru sejak tahun 1866 dikenal kodifikasi (pembukuan) hukum pidana.
d. Het Wetboek van Strafrechtvoor Irlanders En Daarmede gelijkgestelde (S. 1872 : 85)
KHUP ini juga hanya berlaku bagi golongan Indonesia, dan orang yang dipersamakan dengan golongan Indonesia.
e. Politie Strafreglement
Ketentuan ini bersifat dualistis, karena ada politie Strafreglement yang berlaku dalam golongan Erofah dan ada pula yang berlaku bagi golongan Indonesia.

2. Perkembangan hukum pidana di Negeri Belanda
Mulai pada tahun 1809, dikenal kodifikasi :Hei Criminele Wetboek voor Konindryk Holland sampai tahun 1811. oleh karena Negara Belanda diduduki oleh Perancis, maka di negeri Belanda berlakulah Code Penal (Hukum Pidana Perancis).
Untuk mengganti Code Penal (CP), rancangannya selesai di susun oleh Panitia tahun 1875, selanjutnya diajukan pada tweede kamer pada tahun 1879. pada tahun 1881 terbentuklah KUHP Belanda yang bersifat nasional. Karena perlu penyesuaian dan persiapan, maka peraturan Hukum Pidana ini, barulah berlaku pada tahun 1886. jadi Negeri Belanda itu sejak bebas dari penjajahan Perancis selama 11 tahun baru dapat membentuk KHUP nasionalnya (1875-1886).

3. Perkembangan KUHP di Indonesia
Semenjak adanya ketentuan hukum pidana pada tahun 1866 dan 1872, maka pada tahun 1898, berdasarkan pasal 75RR di Nederland Indie haru dibentuk KUHP yang disesusaikan dengan hukum pidana yang berlaku di negeri Belanda. Pada tahun 1898 rancangannya itu telah selesai disusun, tetapi belum ditetapkan berlakunya, karna masih menunggu rancangan KUHP untuk golongan Indonesia.
Rancangan KUHP Indonesia disusun oleh Mr. Slingenberg. Menteri jajahan waktu itu Mr. Inderburg menginginkan suatu unifikasi. Karena itu pada tahun 1913 panitia menyusun KUHP yang berlaku bagi seluruh penduduk Hindia Belanda. Pada tanggal 15 Oktober 1915 ditetapkan Wet Boek van Strafrecht voor Nederland Indie (S. 1915 : 75), mulai berlakunya pada tanggal 1 Januari 1918 (tiga tahun kemudian), oleh karena itu harus mengadakan persiapan-persiapan dan aturan-aturan cara berlakunya. KUHP yang berlaku di Negara Belanda, hal ini berdasarkan azas Concordanantie dengan perubahan-perubahan menurut keadaan setempat.
Pada tahun 1942 Jepang menjajah Indonesia, pada waktu itu Nederland Indie menyerahkan kepada Jepang. Pada saat itu menetapkan, bahwa KUHP lama tetap berlaku.
Selanjutnya pada tahun 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dan tetap memberlakukan KUHP yang telah ada dan menyatkan masih tetap berlaku untuk mencegah rechtvacuum. Kemudian baru lah diadakan pencabutan, perubahan dan penambahan disana sini disesuaikan dengan alam pikiran dan falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri. Sampai saat ini KUHP lama masih tetap berlaku, karena rancanga KUHP yang bersifat nasinal, walaupun telah selesai disusun, tetapi belum mendapat persetujuan dari lembaga legislatif.
B. BEBERAPA PENGERTIAN ISTILAH DALAM HUKUM PIDANA
Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) dikenal 3 pengertian, yaitu
1. Hukum pidana dalam arti objektif (Ius Poenale) dan hukum pidana dalam arti subjektif (Ius Poeniendi)
2. Hukum pidana umum ( Algemene Strafrech) dan hukum pidana khusus (Bijzondere Strafrecht).
3. Hukum pidana material (materiale strafrecht) dan hukum pidana formal (Strafproces recht)
ad. 1. Hukum Pidana objektif dan Hukum Pidana Subjektif
Hukum Pidana dalam arti objektif (Ius Poenale), ialah semua larangan (verboden) dan keharusan (geboden) yang pelanggarannya diancam dengan pidana oleh undang-undang serta mengatur syarat-syarat bila pidana dapat dijatuhkan.
Hukum Pidana dalam arti subjektif (Ius Poenendie), ialah hak negara untuk mempidana seseorang, apabila larangan dan hukuman itu dilanggar.
Hubungan antara hukum pidana dalam arti objektif dengan hukum pidana dalam arti subjektif, ialah bahwa hukum pidana dalam arti objektif itu hanya timbul bila mana ditentukan peraturan-peraturan tentang larangan dan keharusan. Dengan kata lain hak Negara untuk menghukum dibatasi oleh hukum pidana dalam arti objektif.
a.d.2. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum (Algemene atau generale starfrecht), ialah hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang, sebagai contoh KUHP.
Hukum Pidana Khusus (BijzondereStafrecht), ialah hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang tertentu saja, sebagai contoh :Hukum Pidana Militer (KUHPM), Hukum Pidana Fiskal ( Fiscale Strafrecht).
Perbedaan antara hukum pidana umum dengan hukum pidana militer.
Hukum Pidana militer juga mengatur yang terdapat dalam hukum pidana umum. Jenis-jenis kejahatan dalam hukum pidana umum, berlaku juga pada anggota militer. Hukum pidana militer. Apabila hukum pidana militer dihubungkan dengan hukum pidana umum, disebut Ius Speciale.
Perbedaan hukum fiskal dengan hukum pidana umum, terletak pada masalah pertangung jawaban seseorang menyimpang dari hukum pidana umum, karena itu disebut Ius Singulare.
Ad. 3. Hukum pidana Meterial dan Hukum Pidana Formal
Hukum pidana material ( materiale Strafrecht),berisikan rumusan, sebagai berikut :
1. Merumuskan tindak pidana
2. Mengatur siapa yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap pelanggaran dari pada peraturan dari pada peraturan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.
3. Mengatur pidana apa yang dijatuhkan.
Dengan demikian hukum pidana material itu, adalah mengatur apakah, siapakah, dan bagaimanakah sesuatu perbuatan yang dapat dipindana hukum pidana formal (strafprocesrecht), adalah hukum yang mengatur cara hukum pidana material dapat dilaksanakan atau hukum yang mengatur bagaimana orang beracara di luar maupun dalam sidang pengadilan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap hukum pidana material. Hukum pidana formal (strafprocesrecht) disebut hukum Acara Pidana, yang bermuat di dalam KUHAP (UU Nomor. 8/ 1981).
Hukum pidana material dan hukum Pidana Formal tersebut merupakan rincian dari hukum pidana objektif.

C. SIFAT, TUGAS DAN TUJUAN HUKUM PIDANA
1. Sifat Hukum Pidana
Menurut para pakar hukum Pidana dan pakar hukum lainnya (Perdata, Tata Negara), sifat hukum Pidana adalah Hukum Publik.
Menurut Van Apeldoorn (Inleiding tot de studie van het Hederlands recht), beranggapan bahwa : “Hukum publik, ia memandang dalam suatu tindak pidana, yaitu suatu pelanggaran tata tertib hukum dan tidak melihat dalam peristiwa tindak pidana itu suatu pelanggaran kepentingan khusus daripada individual.
Penuntutannya tidak dapat diserahkan kepada individual yang dirugikan, akan tetapi harus dijalankan oleh Pemerintah ( Jaksa Penuntun Umum ).
Van Hamel (Profesor Ilmu Hukum Pidana), memandang hukum pidana sebagai suatu hukum publik, karena yang menjalankan hukum pidana itu sepenuhnya terletak dalam tangan Pemerintah.
SIMONS, Melihat hukum pidana sebagai sebagai hukum publik, karena hukum pidana itu mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat. Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga dijalankannya, karena kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya.
Semula hukum pidana itu bersifat hukum Privat (hukum perdata). Penuntutannya dilakukan oleh orang yang langsung dirugikan, dengan cara balas dendam karena adanya permusuhan antar keluarga, lahirlah suku bangsa dan bangsa tertentu. Dengan adanya kesadaran dibidang, hukum, maka hal ini tidak dapat dibiarkan, sebab akan terus menerus menimbulkan permusuhan dikalangan kelompok suku bangsa tersebut. Akhirnya hukum pidana itu tidak lagi melindungi kepentingan individu saja, tetapi untuk melindungi masyarakat. Sebagai contoh, dalam hal kejahatan pencurian tidak lagi merugikan kepentingan individu, tetapi yang dirugikan adalah kepentingan masyarakat. Oleh karena itu tidak boleh lagi diadakan balas dendam oleh individu yang dirugikan dengan cara tebusan atau denda, tetapi dengan hukuman badan/penjara berdasarkan ketentuan hukum pidana.
Hukum pidana menurut sifatnya adalah hukum publik, artinya hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan negara dan masyarakat, dan hukum pidana itu dilaksanakan untuk kepentingan umum (publik). Hal ini dapat diketahui dari :

a. Ketentuan pasal 344 KUHP;
Barang siapa merampas jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
b. Hak untuk menuntut suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang dan diancam dengan hukuman tidak tergantung pada si penderita, akan tetapi terletak pada alat-alat perlengkapan negara. Penuntutannya dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, tidak atas permintaan korban, kecuali dalam kasus delict aduan.
2. Tugas Hukum Pidana
Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) tugas dari hukum adalah pidana adalah sebagai berikut :
a. Mempelajari dan menjelaskan azas-azas (beginselen) yang menjadi dasar dari peraturan hukum pidana yang berlaku pada suatu saat dan tempat tertentu.
b. Mempelajari dan menjelaskan hubungan antara azas-azas yang satu dengan yang lainnya.
c. Setelah memahami hubungan antara azas yang terdapat dalam peraturan hukum pidana, maka ditempatkan azas-azas itu dalam suatu hubungan yang sistimatis, agar dapat lebih memahami yang dimaksud dengan hukum pidana.
Terdapat 2 jenis aliran yang membahas tentang tugas hukum pidana, yaitu :
a. Aliran yang sempit (Prof. Zevenbergen)
Tugas dari hukum pidanaitu dibatasi ; Zeven bergen, menganggap hukum pidana sebagai Norm Wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan mengenai norma/kaedah.
b. Aliran yang luas (Prof. Simons)
Tugas hukum pidana tidak boleh dibatasi, tetapi harus diperluas dengan cara :
1) Mempelajari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan.
2) Setelah mempelajari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan, harus pula mempelajarai dan menentukan cara memberantas kejahatan.
Perlunasan tugas hukum pidana ini disebut tugas dari Kriminologi.
Hubungan Kriminologi dengan Hukum Pidana, bahwa Kriminologi memberikan masukan pada ilmu pengetahuan hukum pidana dalam rangka mencari sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan dan cara-cara penanggulangannya agar kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu (penjahat) dapat diberantas, sehingga ketentuan hukum pidana dapat diterapka, dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat.
3. Tujuan Hukum Pidana
Untuk mengetahui apa sebenarnya tujuan dari hukum pidna atau tujuan disusunnya hukum pidana kita, dikenal dua ajaran, yaitu :
a. De Klassike School; dan
b. De Moderne School.
ad. a. De Klassike School;
Menurut ajaran klasik, bahwa tujuan disusunnya hukum pidana adalah untuk melindungi individu terhadap kekuasaan negara.
Disusunnya hukum pidana waktu itu dengan tujuan melindungi individu terhadap kekuasaan negara, oleh karena keadaan pada waktu itu (abad ke -18) sampai abad ke-19, hukum pidana sebagian besar negara tidak tertulis. Kekuasaan Raja tidak terbatas (absolut), misalnya Raja Perancis yang berkuasa dan bertindak sewenang-wenangnya, maka dalam prakteknya ternyata bagi penduduk tidak ada kepastian hukum. Hakim dalam menjatuhkan hukum pidana terhadap seseorang menurut kesadaran hukum/kemauan mereka saja,bertindk sewenang-wenang.
Pada akhir abad ke-18 terjadilah suatu peristiwa yang sangat menggemparkan masyarakat, karena seorang kebangsaan Perancis bernama Jean Collas dituduh membunuh anaknya sendiri, yang bernama Mauriac Antoine Collas, karena anaknya itu mati dirumah ayahnya.
Pada saat pemeriksaan Jen Collas menyangkal keras tuduhan, bahwa ia tidak membunuh anaknya sendiri, walaupun ia menyangkal keras, tetapi pemeriksaan saat itu sangat kejam, agar ia mengaku, maka Jean Collas disiks agar mudah dibuktikan dan dapat dihukum. Jean Collas tetpa menyangkal segala tuduhan ketika diadili, karena ia tidk membunuh anaknya. Tetapi menurut hakim yang memeriksa perkaranya menyatakan telah cukup terbukti kesalahan Jean Collas, lalui dijatuhi hukuman mati dan dilaksanakan dengan Guillotine.
Dengan kejadian kasus tersebut, masyarakat merasa tidak puas, karena masyarakat menganggap Jean Collas tidak bersalah.
VOLTAIRE yang mempunyai pengaruh besar saat itu, dan ia mengecam hukuman Jean Collas dalam karangannya, karena ia yakin Jean Collas tidak bersalah, dan ia menganjurkan agar Raja mengabulkan pemeriksaan ulang. Pada saat itu pemeriksaan diulang kembali, untuk memberikan kepuasan terhadap masyarakat. Ternyata Hakim yang memeriksa ulang menyatakan Mauriac Antoine Collas telah membunuh dirinya sendiri, bukan dibunuh oleh ayahnya (Jean Collas), maka rakyat pun menjadi gempar oleh karena Jean Collas telah menjalani hukuman mati.
Selanjutnya Markies de Becaria dan J.J. Rousseu, Montesque, menuntut agar hukum pidana diatur dengan undang-undang, pemeriksaan terhadap tertuduh/tersangka harus berkeperimanusiaan. Kekuasaan Raja harus dibatasi, sehingga kepentingan perorangan (individu) dari kekuasaan negara dapat dilindungi oleh hukum.
ad. b. De Moderne School
Menurut ajaran modern (de moderne school) tujuan disusunnya hukum pidana itu adalah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan.
Kejahatan dianggap membahayakan dan penyakit masyarakat, karena itu tujuan Hukum Pidana adalah ditujukan kepada melindungi kepentingan masyarakat.
Menurut alam pikiran ajaran modern kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Pemerintah dientuk oleh rakyat sendiri dengan dibatasi oleh UUD.
Dengan adanya hukum pidana tertulis, maka diharapkan adanya kepastian hukum, sehingga seluruh warga masyarakat dapat terhindar dari kekuasaan yang tidak terbatas.
Penyusunan hukum pidana saat ini dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dikenal dengan sebutan Kriminologi dan Sosiologi, yang lebih mengutamakan masyarakat (publik) tidak mengutamakan individu.
Karena itulah tujuan hukum pidana modern adlah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mentaati ketentuan hukum pidana.

D. JENIS – JENIS HUKUM PIDANA
Hukum pidana terdiri dari 2 jenis, yaitu :
1. Hukum Pidana Umum (Generale Strafrecht)
2. Hukum Pidana Khusus (Bijzondere Strafrecht)
ad. 1. Hukum Pidan Umum (Generale Strafrecht), adalah hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang. Ketentuan hukum pidana umum dapat kita pelajari didalam KUHP (Wet Boek van Strafrecht).
KUHP terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu :
Buku I : Yang memuat ketentuan-ketentuan umum (Algemene bepalingen), dari pasal 1 sampai pasal 103 KUHP.
Buku II : Yang memuat tentang kejahatan (Misdrij ven), dari pasal 104 sampai 448 KUHP.
Buku III : Yang memuat tentang pelanggaran (Overtreidingen), dari pasal 449 samapi 569 KUHP.
Azas-azas hukum pidana termuat dalam buku I KUHP, yang berlaku bagi semua lapangan hukum pidana positif. Pengertian-pengertian (begrippen) dan azas-azas (beginsellen) yang termuat dalam buku I KUHP pada umumnya berlaku dn harus digunakan dalam melaksanakan hukum pidana, baik yang termuat dlam KUHP maupun diluar KUHP.
Adanya pembagian tindak pidana dalam kejahatan (buku II) dan pelanggaran (buku III) menimbulkan beberapa akibat penting dalam hukum pidana, yaitu :
a. Dalam hal kejahatan harus dibuktikan adnya unsur sengaja (opzet) atau kealpaan (Culfa), sedangkan pada pelanggaran adanya unsur sengaja atau kealpaan tidak perlu dibuktikan.
b. Dlam Pelanggaran, mengenai percobaan (poging) dan membantu (medeplichtigheid) melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana, sedangkan pada kejahatan dapat dipidana.
c. Pasal 59 KUHP dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, angggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana. Ketentuan pasal ini hanya berlaku terhadap pelanggaran saja tidak berlaku terhadap kejahatan.
d. Penuntutan terhadap pelanggaran jangka waktunya lebih singkat dan hak menjalankan hukuman pun lebih cepat dari kejahatan, pengecualian berlaku terhadap pelanggaran dan kejahatan percetakan (drukpers misdrijven).
e. Pengaduan sebagai syarat penuntutan sesuatu tindak pidana aduan (Klacht delict). Pengaduan tersebut untuk beberapa kejahatan merupakan dasar penuntutannya (pasal 72 sampai 75 KUHP).

ad. 2. Hukum Pidana Khusus (Bijzondere delicten)
Bijzondera delicten adalah hukum pidana yang berlaku secara khusus untuk orang-orang tertentu, misalnya bagi anggota ABRI dn Kepolisian.
Hukum pdana khusus tersebut termuat dalam Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Disamping berlakunya KUHPM, bagi orang-orang militer dan Kepolisian, juga hukum pidana umum tetap berlaku bagi mereka. Apabila yang dilanggar tidak menyangkut kepentingan militer, tetapi lebih berat pada kepentingan umum. Hal ini dapat terjadi dalam perkara Koneksitas, dimana didalam kasus itu terlibat orang-orang Sipil dan Oknum Militer atau oknum Kepolisian. Perbedaan antara hukum pidana umum dengan hukum pidana militer, bahwa dalam hukum pidana militer, dimuat pula jenis kejahatan dalam pidana umum, juga dimuat hal-hal yang khusus yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang militer.

E. AZAS-AZAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Dalam hukum pidana dikenal beberapa azas yang berlaku, yaitu azas yang diatur secara tegas dalam KUHP dan ajaran/aliran yang tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi dianggap berlaku dalam penerapan hukum pidana.
Azas dimaksud adalah :
1. Azas yang diatur dengan tegas dalam KUHP, yang meliputi :
a. Azas-azas tentang berlakunya Undang-undang Hukum Pidana menurut waktu (Tempus Delictie).
b. Azas-azas tentang berlakunya Undang-undang Hukum Pidana menurut Tempat (Locus delictie)
2. Ajaran/aliran yang tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi dianggap berlakunya dalam hukum pidana.

ad. 1. a. Azas-azas tentang berlakunya Undang-undang hukum pidana menurut waktu.
Azas ini diatur dalam pasal 1 KUHP :
Ayat (1) : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
Ayat (2) : Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentutan yang paling menguntungkannya.
Ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP dalam bahasa asing disebut Nullum delictum poena sine praven legi poenali.
Makana pasala 1 KUHP tersebut, bahwa pasal itu mengandung 3 azas, yakni :
1. Azas bahwa hukum pidana bersumber pada undang-undang atau hukum tertulis.
Berdasarkan azas ini, bahwa hukum pidana yang bersumber pada hukum taktertulis (hukum adat) tidak berlaku.
Berarti seseorang itu hanya dapat dipidana terhadapnya, bila perbuatan itu dilarang dandiancam dengna pidana oleh Undang-undang.
2. Azas Hukum Pidana tidak boleh berlaku surut.
Berdasarkan azas ini ketentuan-ketentuan hukum pidana yang baru dikeluarkan oleh negara hanya dapat diperlakukan sejak saat diundangkan peraturan itu. Artinya mulai diperlakukan pada saat diundangkan dan hari-hari berikutnya, berlakunya kedepan, bukan kebelakang/surut.
3. Azas hukum pidana tidak boleh ditafsirkansecara analogi.
Berdasarkan azas ini, apabila ada undang-undang yang tegas melarang dan mengancam suatu perbuatan dengan pidana, dan disamping itu ada perbuatan yang mempunyai sipat yang sama., akan tetapi tidak dilarang dan tidak diancam dengan pidana secara tegas, lantas Undang-undang yang mengatur dengan tegas tadi diperlakukan. Terhadap hal yang mempunayai sifat yang sama itu. Keadaan yang demikian tidak diperbolehkan/dilarang.
Mengenai azas bahwa hukum pidana dilarang ditafsirkan secara analogie, beberapa ahli hukum berpedapat hal ini diperbolehkan, dengan alasan.:
a. Undang-undang tidak mungkin mengatur semua perbuatan yang dapat dipidana. Hukum pidana itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Semula ada perbuatan yang dianggap tidak membahayakan masyarakat, kemudian karena perkembangan masyarakat perbuatan itu dianggap patut dihukum.
Hukum Undang-undang yang mengaturnya belum ada, sehingga perlu ketentuan yang ada itu ditafsirkan secara analogis.
b. Dikhawatirkan kepentingan hukum tidak terjamin, karena itu perlu penafsiran analogi .
c. Dalam praktek oleh hakim-hakim, berulang-ulang dalam putusannya dilakukan penafsiran secara analogi, hanya tidak dikatakan secara tegas. Hakim mengatakan ia tidak menggunakan penafsiran ektensive (penafsiran undang-undang hukum pidana secara luas.
Sebagai contoh dari perbuatan dari pebuatan hakim yang mengandung penafsiran analogi pada tahun 1921, dalam penerapan pasal 362 KUHP (pencurian/ diefstal).
Pasal 362 KUHP merumuskan unsur-unsuruya, bahwa unsur perbuatan yang dilarang ialah mengambil (Wegnemen)
Wegnemen ditafsirkan, ialah membawa sesuatu barang di bawah kekuasaan yang nyata dan mutlak.
Kemudian yang dimaksud dengan barang (goed) ialah barang yang mempunyai sifat yang dapat bergerak dan berwujud.
Ternyata dari arrest Hooge Raad pada tahun 1921, tidak saja barang yang berwujud dapat diambil, tetapi juga aliran listrik, pada hal aliran listrik, itu tidak mempunyai wujud. Aliran listrik ditentukan dapat dicuri, juga uap dan gas menjadi objek pencurian.
Azas bahwa undang-undang pidana tidak berlaku surut (pasal 1 ayat (1) KUHP), berlakunya tidak mutlak, karena terdapat pengecualian yang ditentukan oleh pasal 1 ayat 2 KUHP, sebagai contoh A melakukan perbuatan pada tanggal 1 Desember pada saat itu berlaku suatu undang-undang yang melarang dan mengancam perbuatan A dengan pidana. Setelah itu pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya diadakan perubahan undang-undang tadi, selanjutnya A diadili pada 1 Februari setelah terjadinya perubahan undang-undang. Dalam hal ini hakim harus mengadakan perbandingan antara undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru, yang menakah diantara kedua undang-undang tersebut yang menguntungkan A, yang lama ataukah undang-undang yang lama mengancam pidana 5 tahun, dan setelah ada undang-undang baru yang mengancam menjadi 3 tahun, maka yang 3 tahun inilah yang diperlukan A. ini berarti Undang –undang yang baru itu berlaku surut, karena dibuat 1 Januari, tetapi di perlakukan kepada tindak pidana yang dialakukan pada tanggal 1 Desember.
Apa yang menjadi dasar hukum untuk memperlakukan surut bila ada perubahan undang-undangnya.
Apakah perubahan dalam perundang-undangan hukum pidana saja atau perubahan disemua lapangan perudangan-undangan, misalnya dilapangan hukum perdata.
Dalam hal perubahan perundangan-undangan ini dikenal beberapa pendapat :
1. SIMONS, berpendapat bahwa perubahan itu hanya di lapangan hukum pidana saja, berdasarkan ketentuan ayat (1), dan ayat (2) pasal 1 KUHP, karena pasal tersebut dengan tegas dinyatakan, yang dimaksud adalah perundang-undangan hukum pidana. Simons menafsirkannya secara sistematis/logis.
2. VOS, berpendapat tidak saja perubahan di dalam perundang-undangan hukum pidana saja, tetapi tiap-tiap perubahan perundang-undangan, misalnya perubahan perundangan-udnangan hukum perdata juga mempengaruhi hukum pidana. VOS manafsirkannya secara luas.
Apakah yang dimaksud dengan undang-undang mana yang lebih menguntungkan ?
Cara untuk menentukan Undang-undang yang lebih menguntungkan, maka harus dibandingkan Undang-undang lama dengan undang-undang yang baru, antara lain :
a. Dilihat dari segi pidananya
Hasilnya seseorang memiliki senjata api tanpa izin, dulu undang-undang lama dapat dipidana 5 tahun. Undang-undang baru mengancam pidana 20 tahun penjara, seumur hidup atau hukuman mati. Maka dari segi pidananya undang –undang lama yang lebih menguntungkan.
b. Perumusan Norma
Misalnya suatu perbuatan pada waktu dulu dilarang dan diancam pidana. Kemudian diadakan perubahan, undang-undang menentukan bahwa perbuatan itu tidak lagi dilarang dan tidak diancam dengan pidana, karena itu bukan lagi tindak pidana. Dalam hal ini undang-undang baru yang lebih menguntungkan.
c. Kejahatan umum menjadi delict aduan (klacht delict)
Perundangan-udangan yang lama menentukan suatu perbuatan adalah suatu kejahatan, penuntutannya tanpa pengaduan yang berhak, maka undang-undang yang baru lebih menguntungkan sipelaku.
d. Daluwarsa (verjaring)
Hasilnya menurut undang –undang yang lama, jangka waktu verjaring dari penuntutan atas suatu delict 5 tahun. Kemudian diubah oleh undang-undang yang baru, jangka waktunya menjadi 3 tahun, maka undang-undang yang baru, jangka waktunya menjadi 3 tahun, maka undang-undang yang lebih menguntungkan.
Manfaat (ratio) mengenai azas berlakunya hukum pidana menurut waktu, adalah :
1. Penting untuk mengetahui waktu terjadinya kejahatan sehubungan adanya perubahan undang-undang, harus diperlalukan yang menguntungkan.
2. Pentingnya berhubungan dengan pasal 45 KUHP, yaitu orang yang belum dewasa, yang melakukan kejahatan.
Ad.1.b. Azas berlakunya Undang-undang Hukum Pidana Menurut Tempat.
Kita mengenal 4 azas berlakunya Undang-undang hukum pidana menurut tempat (locus delictie), yaitu:
1. Azas territorial (territoriallitets beginsel/ handsgebied beginsel).
2. azas aktif nasionalitas (activive Nationalistieits/ bescheremingsbeginsel).
3. Azas pasif Nasionalitas (Passieve Nationaliteits/ personaliteitlthegensel).
4. Azas Universal (Universaliteit begensel)
Ad.1. Azas Territorial
Belakunya Undang-undangan hukum pidana suatu negara menurut azas territorial, disandarkan pada tempat dimana seseorang melakukan tindak pidana.
Apabila tempat itu adalah dalam suatu negara,maka undang-undang hukum pidana di negara itu yang berlaku, mengenai kewarganegaraan yang melakukan tindak pidana diabaikan.
Dasar hukumnya adalah kedaulatan negara setiap negara yang berdaulat, wajib mempertahankan ketertiban di wilayahnya, oleh karena itu jika ada seseorang melakukan tindak pidana di negaranya, maka orang itu melanggar ketertiban hukum pidana wilayahnya.
Azas ini diatur dalam pasal 2 dan 3 KUHP.
Pasal 3 merupakan perluasan dari pasal 2 KUHP
Ad.2. Azas Aktif Nasionalitas
Berlakunya Undang-undanga hukum pidana menurut azas aktif nasionalitas disandarkan atas kebangsaan dari orang yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu hukum pidana negaranya yang berlaku, walaupun ia berada di luar negeri. Mengenai tempat dari delict tidak menjadi persoalan
Dasar hukumnya adalah kedaulatan negara setiap warga negara berhak mendapat perlindungan dari negaranya, negara mengharapkan kepada warga negaranya, baik ia berada di luar negeri tunduk kepada undang-undang negaranya. Dalam KUHP azas ini diatur dalam pasal 5 ayat (1), pasal 6 dan pasal 7 KUHP. Pasal 7 KUHP merupakan perluasan dari azas aktif nasionalitas.
Ad.3. Azas Pasif Nasionalitas
Berlakunya undang-undang hukum pidana, menurut azas ini disandarkan kepada kepentingan hukum dari suatu negara yang hukumnya dilanggar oleh seseorang, tidak melihat apakah sipelanggar warga negara atau bukan didalam warga negar atau diluar negeri.
Dasar hukumnya, ialah bahwa setiap negara berdaulat
Berhak melindungi kepentingan hukumnya. Azas ini diatur dalam pasal 4 sub 1 dan sub 2 dan pasal 8 KUHP Pasal 8 adalah perluasan dari pasal 4 KUHP
Ad. 4. Azas universal (universaliteit begisel)
Berlakunya undang –undan hukum pidana, menurut azas universal di sandarkan kepada kepentingan hukum dari seluruh dunia yang dilanggar oleh seseorang.
Dasar hukumnya disandarkan kepada suatu fictie, dianggap seolah-olah setiap hakim negara yang bersangkutan telah mengenal suatu susunan negara-negara yang meliputi seluruh dunia.
Oleh karena itu tiap negara yang berdaulat dianggap menjadi anggot dari Wereld Staat, maka tiap-tiap negara berkewajiban memperlakukan hukum pidana negaranya, karena ia wajib melindungi kepentingan hukum seluruh dunia.
Azas ini diatur pada pasal 4 sub 2 dan sub 4.
Pasal tersebut menentukan berlakunya KUHP Indonesia terhadap beberapa kejahatan tertentu (pasal 104,106, 107, 108, 110, 111 bis pada ke I dan pasal 131 KUHP), sekalipun berada di luar negeri.
Pasal 4 sub 2 mengatur tentang pemalsuan mata uang. Pasal 4 sub 4 mengatur tentang kejahatan pembajakan.
Apakah ke empat azas mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat tersebut diatas, berlaku secara mutlak?
Tidak, karena ada beberapa pengecualianyang ditentukan oleh hukum antar negara (Volkenrecht)/
Hal ini diatur dalam pasal KUHP oleh karena itu berlakunya pasal 2,3,4,5,6,7, dan 8 KUHP dibatasi yang merupakan pengecualian dan diakui oleh hukum Internasional
Pengecaulian itu terhadap :
1. Kepala negara asing yang sedang mengunjungi negara Indonesia dengan persetujuan negara.
2. pengawal dan pengikut (rombongan) kepala negara asing tersebut.
3. Duta-duta negara asing yang berada di negara Indonesia, dengan persetujuan negara.
4. Keluarga Duta-duta, juga anggota-anggota perwakilan duta-duta itu.
5. anak buah dari Kapal Perang Asing yang dengan persetujuan pemerintah sedang berada di wilayah Negara Indonesia.
6. Missi Militer/ Atas meliter yang berada di negara Indonesia dengan persetujuan pemerintah.
Warga negara indonesia yang bekerja pada kedutaan asing di Indonesia, tetap berlaku hukum pidana Indonesia. Terhadap konsul Jenderal juga tetap berlaku hukum negaranya. Terhadap konsul Indonesia tetap berlaku hukum pidana Indonesia, karena mereka bertugas pada bidang perdangangan.
Pekarangan, diri, rumah duta, merupakan exterritorialitet, jadi dianggap tanah negara asing dan hukum pidana Indonesia tidak berlaku.
Ad. 2. Ajaran/Aliran yang tidak dirumuskan dalam KUHP, tetapi dianggap berlaku dalam hukum pidana.
KUHP sendiri tidak memberikan peraturan mengenai apakah yang harus dianggap sebagai tempat dan waktu dari suatu tindak pidana, karena itu kita harus melihat beberapa aliran dalam ilmu pengetahuan hukum pidana.
Dalam hal ini untuk menentukan tempat terajadinya suatu tindak pidana dikenal 4 aliran, yaitu :
1. De leer van de lichmelijkedaad.
2. De leer van het instrument
3. De leer van het gevolg
4. De leer van het meervoudige plaats.
Ad. 1. De leer van de lichamelikedaad
Berdasarkan ajaran ini, yang dianggap sebagai tempat dari tindak pidana ialah tempat dimana perbuatan itu dilakukan oleh seseorang.
Sebagai contoh A di Jakarta mengirim Paket yang berisi bahan Peledak kepada B diBandung. Menurut De leer van delecihamelijke daad. Maka tempat tindak pidana (kejahatan) itu adalah di Jakarta, dimana perbuatan itu dilakukan.

Ad. 2. De leer van Het Instrument
Menurut ajaran ini bahwa seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dengan memakai alat.
Sebagai contoh A dari Bandung mengirim bingkisan sebagai kue kepada B di Semarang. Setelah kue tadi diterima B dan lalu dimakannya, kemudian B setelah memakan kue tersebut meninggal, karena keu tersebut di campur racun.
Menurut De leer van het instrument, walaupun A melakukan tindak pidana di Bandung, tetapi karena A menggunakan alat, maka tempat tindak pidana itu adalah di Semarang, yaitu tempat dimana alat yang dipakai A menimbulkan kematian B ditemukan.
Ad. 3. De leer van Het Gevolg
Menurut ajaran ini, yang dianggap sebagai tempat dari tindak pidana, ialah tempat dimana akibat dari tindak pidana, ialah tempat di mana akibat dari perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu timbul, walaupun perbuatannya sendiri dilakukan di tempat lain.
Dalam ajaran De leer van het gevolg, terdapat perbedaan pendapat, yaitu :
a. De leer van het ommiuddelijkegevolg (akibat) menurut paham ini, tempat dari pidana ialah tempat dimana akibat langsung menimbulkan gevolg.
Sebagai contoh A menikam B di Jakarta, B luka-luka dan kemudian ia pulang ke Bogor. Setelah sampai di Bogor B meninggal. Menurut paham ini, maka tempat tindak pidana adalah di Jakarta, karena perbuatan A menimbulkan akibat langsung terhadap B (luka-luka) di Jakarta.
b. De leer van het eenvoudige plaats
Menurut ajaran ini tempat dari tindak pidana adalah di mana akibat yang menjadikan perbuatan itu dilarang dan diancam pidana itu terjadi atau dimana tempat akibat yang menimbulkan tindak pidana itu selesai.
Menurut paham ini, dari contoh diatas (point a), maka tempat dari pada tindak pidana ialah Bogor, karena B meninggal di Bogor yang merupakan tempat selesainya tindak pidana tersebut di Bogor.
Ad. 4. De leer van het meervoudige plaats
Menurut ajaran ini, tempat dari tindak pidana adalah tempat-tempat di mana perbuatan itu dilakukan.
Sebagai contoh A menculik seseorang (B) di Jakarta, kemudian B dibawa ke Bogor, dan terus dibawa ke Surabaya dalam keadaan terikat.
Menurut ajaran ini, maka tempat tindak pidana tersebut adalah semua tempat yaitu Jakarta, Bogor dan Surabaya.
Cara menentukan waktu dari suatu tindak pidana dapat pula digunakan ajaran-ajaran untuk menentukan tempat dari suatu tindak pidana sebagaimana tersebut diatas.
Misalnya digunakan ajaran De leer van delichamelijkedaad, maka waktu dari tindak pidana ialah waktu pidana saat mana perbuatan yagn dilarang dan diancam pidana itu dilakukan.
Manfaat (Ratio) azas berlakunya Undang-undang hukum pidana menurut tempat, adalah :
1. Penting untuk mengetahui dimanakah seseorang melakukan suatu tindak pidana, karena kita ingin mengetahui undang-undang pidana manakah yang berlaku baginya, undang-undang pidana asingkah atau undang- undang pidana Indonesia.
2. Penting diketahui, untuk menentukan kekuasaan kehakiman/ peradilan.

BAB II
TINDAK PIDANA
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN
1. Istilah Tindak Pidana
Dalam KUHP istilah tindak pidana dirumuskan dengan istilah Starfbaarfeit, kemudian istilah tersebut disebut dengan delik (tindak pidana).
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana istilah strafbaarfeit, digunakan secara beraga, ada yang mengunakan istilah delik. Peristiwa pidana, perbuatan pidana dan perbuatan melawan hukum.
Didalam beberapa Undang-undang dewasa ini dipakai istilah terjemahan dari delik, yaitu istilah tindak pidana.
Sebagai contoh telah digunakan dalam beberapa peturan hukum pidana khusus, yaitu tindak pidana Imigrasi, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Subversi, Tindak Pidana Lalu Lintas Devisa. Tindak Pidana tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama, tidak pidana Suap. Tindak pidana Perbankan, dan Tindak Pidana Komputer.
Dalam Hukum Pidana (KUHP) juga telah digunakan istilah tindak pidana.
Dalam rancangan KUHP Nasional, juga digunakan istilah tindak pidana.
Istilah strafbaarfeit itu dimaksudkan adalah baik perbuatan yang aktif, maupun perbuatan yang pasif. Misalnya seseorang dipanggil sebagai saksi dan ia tidak datang menghadap pada waktu yang ditentukan maka tidak datang itu merupakan delik (pasal224 KUHP).
Ketentuan pasal 224 KUHP, adalah sebagai berikut :
“ Barangsiap dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhinya kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
2. Pengertian Tindak Pidana
Menurut rumusan Prof. Simons, “ delik adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan dan disalahkan kepada sipembuat”.
Delict (tindak pidana) menurut Prof. Simons tersebut syarat-syaratnya adalah :
1) Harus ada perbuatan, tentunya perbuatan manusia.
2) Perbuatan manusia itu harus bertentangan dengan hukum.
3) Perbuatan itu harus dilarang oleh undang-undang dan ancam dengan hukuman
4) Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.
5) Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada sipembuat.

Menurut Van Hamel, yang dinamakan delict adalah “perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, perbuatan mana yang dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan dan disalahkan kepada sipembuat, perbuatan itu harus mengandung sifat yang patut dihukum”
Jadi menurut Van Hamel ada 6 syarat apa yang dimaksud dengan delict, yaitu:
1) Harus ada perbuatan, tentunya perbuatan manusia
2) Perbuatan manusia itu harus bertentangan dengan hukum
3) Perbuatan itu harus dilarang oleh undang-undang, dan diancam dengan hukuman.
4) Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yan dapat dipertanggung jawabkan
5) Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada sipembuat
6) Perbuatan itu harus mengandung sifat yang patut dihukum.

Selanjutnya Mr. VOS, tidak setuju dengan rumusan yang dikemukakan oleh Prof. Somons dan Prof. Van Hamel, karena terlalu banyak syarat-syarat baru dapat dinamakan delik. Menurut Mr. Vos, delict itu adalah “Een Strafbaarfeit is een door de wet strafbaargesteldfeit, yaitu apabila perbuatan itu dengan tegas dilarang dan diancam dengan undang-undang, ini dinamakan delict/ tindak pidana.
Menurut Prof. Satochid Kertanegara, S.H. rumusan delik dari Prof. Simons, adalah yang terbaik, karena mengandung perbuatan aktif maupun perbuatan yang pasif, karena itu orang melakukan perbuatan yang pasifpun dapat dihukum.
Contoh perbuatan yang aktif :
1) Pasal 362 KUHP “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
2) Pasal 338 KUHP : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3) Pasal 351 ayat (1) KUHP: Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Ketiga ketentuan pidana tersebut diatas, manunjukkan perbuatan aktif, yaitu melakukan pencurian, melakukan pembuhunan, dan melakukan penganiayaan.
Selanjutnya perbuatan pasif, juga merupakan delict, apabila perbuatan yang tidak dilakukan oleh seseorang itu diwajibkan atau diharuskan orang itu untuk berbuat. Jadi seseorang yang tidak berbuat dianggap melakukan suatu delict apabila kepadanya dibebankan suatu kewajiban hukum kepada seseorang, dalam hukum pidana bersumber kepada :
1. Undang-undang (Wet)
Apabila Undang-undang mengharuskan berbuat, maka undang-undang merupakan sumber kewajiban hukum.
Sebagai contoh : orang yang dipanggil sebagai saksi oleh undang-undang diwajibkan menghadap.
Bahwa setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi harus datang, agar dapat didengar keterangannya. (pasal 224 KUHP).
“Barangsiapa yang mengetahui, ada mufakat jahat akan melakukan kejahatan sebagaimana tersebut dalam pasal 104, 106,107,108, 113, 115, 124, 187,atau pasal 187bis KUHP, sedangkan seseorang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dengan sengaja tidak memberi laporan yang cukup kepada pihak yang berwenang atau kepada orang yang cukup kepada pihak yang berwenang atau kepada orang yang terancam kejahatan itu, dihukum dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, jika kejahatan itu jadi dilaksanakan. Yang menjadi delik, ialah sengaja tidak dilaporkan, bahwa dengan laporan itu. Kejahatan dapat dicegah (pasal 164 KUHP).
2. Jabatan (Het ambitbetrekking), pegawai negeri yang mempunyai pekerjaan tertentu.
Sebagai contoh seorang dokter pemerintah berkewajiban untuk menyembuhkan sisakit, ia harus melakukan perbuatan itu, yaitu dengan cara memeriksa dan memberi obat agar sembuh. Apabila dokter itu tidak melakukan kewajibannya, dan pasiennya meninggal, maka dokter itu dapat dihukum, karena tidak berbuat sebagaimana kewajibannya.
Ini merupakan tindak pidana/ perbuatan pasif.
3. Perjanjian (overenkomst)
Sebagai contoh seorang dokter pertikulir/swasta, bila menerima pasien, sebenarnya ia telah mengadakan perjanjian perburuhan, sebab pasien membayar upah kepada dokter. Apabila dokter itu telah menerima permintaan pasien untuk berobat, tetapi ia tidak memberi obat/membiarkan saja dikamar perawatan, hingga mengakibatkan kematian pasien, dokter tersebut dapat dihukum, karena tidak memenuhi kewajibannya.

B. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA (DELICT).
1. Jenis-jenis Tindak Pidana Dalam KUHP dan Menurut Doktrin.
Dalam KUHP terdapat 2 jenis delict, yaitu :
1) Misdrijven (kejahatan), buku II KUHP
2) Overtreidingen (pelanggaran) buku III KUHP
Didalam KUHP Perancis (Code Penal), dikenal 3 jenis delict, yaitu :
1) Crimes (Kejahatan)
2) Delicts (tindak Pidana )
3) Contraventions (pelanggaran)
Menurut Doktrin terdapat berbagai jenis tidak pidana (delict), yaitu :
1) Algemene delicten dan Bijzondere delicten
2) Dolus (opzet) delicten dan Culpa (Culpose) delicten
Dolus (Opzet) delicten, adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Opzet dan culose adalah merupakan salah satu unsur dalam suatu tindak pidana.
Culpose delicten ialah perbuatan yang dilarang/ diancam dengan hukuman yang dilakukan dengan tidak sengaja, tetapi karena kealpaan atau karena malatigheid onachtzaamheid.
Contoh Dolus delicten terdapat pada pasal 338 KUHP, dengan sengaja melakukan pembunuhan.
Contoh Culpose delicten terdapat pada pasal 359 KUHP, karena kelalaian /kealpaan menyebabkan orang lain mati.
3) Commisie delicten (delicta commisiones) dan Omnissie delicten (delicta Ommis Siones).
Commisie delicten ialah delict yang terdiri dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Contoh pasal 362 KUHP (pencurian), yang merupakan pelanggaran terhadap suatu larangan (verbood).
Ommissie delicten ialah dilicten yang terjadi apabila tidak berbuat, contoh pasal 164 dan 165 KUHP (tidak melapor mengetahui ada permufakatan jahat), yang melanggar suatu keharusan (gebood).
Diantara Commossie dan Ommissie delecten dikenal pula oneigenlijke Ommissie delicten (delicten commissiones per ommisiones commissa).
Pada umumnya delict itu terjadi dengan tidak berbuat.
Contoh pada pasal 338 KUHP (delict pembunuhan), misalnya dengan cara menikam, menembak, memberi racun, tetapi dapat pula dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu tidak memberi anak bayinya minum susunya, siibu tidak berbuat, sehingga anaknya meninggal, padahal kewajiban siibu memberi bayinya minum susu.
4) Formele delicten dan Materile delicten
Formale delicten ialah delict yang terdiri atas perbuatan. Undang-undang merumuskan perbuatan apa yang dilarang/ diancam dengan hukuman.
Sebagai contoh pasal 362 KUHP (mengambil barang).
Materile delicten adalah delicten yang terdiri atas suatu akibat, sebagai contoh akibatnya meninggal seseorang (pasal 338) KUHP), menimbulkan kebakaran (pasal 187 KUHP), atau penganiayaan dengan sengaja (pasal 351 KUHP). Untuk mengetahui sesuatu delict itu termasuk formale atau materile delict, tergantung dari perumusan undang-undang. Bila perbuatannya yang dilarang termasuk formule delicten, tetapi jika akibat yang timbul yang ditekankan adalah merupakan delict materile.
5) Zelstandige delicten dan Voorgezette delicten.
Zelstandige delicten adalah delict yang terdiri atas satu perbuatan tertentu. Misalnya melakukan pencurian. Voorgezette delicten adalah delict yang terdiri atas beberapa perbuatan langjutan, misalnya mencuri uang Rp. 100.000,- tetapi tidak dilakukan sekaligus, tetapi berkali-kali, sehingga jumlahnya Rp. 100.000,-
6) Aflpende (Ogenlijke) delicten dan Voordurende delicten.
Aflopende (ogenlijke) delicten adalah delict yang telah selesai ketika dilakukan. Contoh pasal 286 KUHP, bersetubuh dengan orang yang pingsan/ tidak berdaya. Voordurande delicten adalah delict yang tidak terdiri atas satu perbuatan, tetapi terdiri atas melangsungkan atau membiarkan sesuatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan oleh perbuatan. Contoh pasal 333 ayat (1) KUHP, merampas kemerdekaan atau meneruskan perampasan kemerdekaan (menculik/ menahan) dengan senjaga dan melawan hukum.
7) Eenkelvoudige delicten dan samengestelde delicten
Eenkelvoudige delicten, yaitu pada umumnya terdiri atas suatu perbuatan (sama dengan aflopende delicten), Samengestelde delicten, yaitu delict yang terdiri dari atas beberapa perbuatan, misalnya menjadikan kebiasaan.
8) Eeenvoudige delicten dan Gequalifecerde delicten
Eeenvouige delicten adalah suatu delict yang mempunyai unsur pokok, misalnya pasal 362 KUHP.
Gequalificerde delicten adalah bentuk delik yang mempunyai unsur pokok, juga memiliki unsur yang memberatkan ancaman hukum kepadanya, yaitu delict dalam bentuk pokok itu, misalnya pasal 362 KUHP adalah Eeenvoudige delicten, pasal 363 KUHP (diefstal vanbee) hukumannya lebih berat.
Selain Gequalificerde delicten dikenal pula Geprivilegieer delicten yaitu delik dalam bentuk pokok ditambah dengan unsur-unsur lain yang meringankan, contohnya kejahatan pencurian yang dilakukan oleh seseorang dengan cara didalam rumah atau perkarangan tertutup yang ada rumah. Barang yang dicuri harganya tidak lebih dari Rp. 250,- diancam penjara tiga bulan atau denda sebanyak Rp. 900,- (Pasal 364 KUHP).
9) Politiche delicten dan Commune Delicten
Politiche delicten adalah delik yang terdiri atas perbuatan yang melanggar keamanan negara, jadi terletak di lapangan politik.
Commune delicten ialah delict yang tidak ditujukan kepada keamanan negara, misalnya terhadap harta benda (pencurian)
10) Delicta Propria dan Commune Delicten
Delicta propria (bijzondere delicten), yaitu delict yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, misalnya delict yang dilakukan oleh anggota militer, seperti insubordinatie atau disertie (Militaire delicten)
Contoh lain, fiskal delicten, yaitu tindak pidana (delict) yang terdiri atas pelanggaran terhadap peraturan pajak dan bea cukai. Hal itu dilakukan oleh orang yang berkewajiban membayar pajak.
2. Manfaat Perincian Delict Berdasarkan KUHP dan Doktrin
Manfaat adanya jenis-jenis delik dalam KUHP, mempunyai pengaruh terhadap doktrin dan mempunyai akibat hukum. Misdrijven ancaman pidananya lebih berat dari pada overtreidingen.
Dolus dan Culpose delicten bermanfaat untuk memahami unsur Opzet (dolus) dan unsur Culfa.
Zelfstandige dan Voorgezette bermanfaat untuk menentukan tempat dan waktu dari pada delict.
Aflopende dan Voordurende delicten penting bagi bangunan hukum yang verjaring (lewat waktu).
Politiche dan Commune delicten penting bagi bangunan uitlevering, yaitu bila negara menyerahkan seseorang yang telah melakukan kejahatan yang merugikan negara lain, kepada negara yang merugikan itu dengan maksud untuk diadili dan dipidana.
Manfaat dari delicte propria dan Commune delicten berhubungan dengan kekuasaan pengadilan, misalnya melitaire delicten, maka anggota angkatan bersenjata harus diadili oleh Pengadilan Tentara/Militer (Mahkamah Meliter).

3. Dasar perincian misdirjven dan Overtreidingen
Perincian mengenai Misdriven dan Overtreidingen didasarkan atas penempatannya. Semua perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang ditempatkan dalam buku II merupakan misdrijven, sedangkan Overtreidingen diletakkan pada buku III.Disamping KUHP, kita mengenal pula tindak pidana di luar KUHP, yang termuat dalm undang-undang hukum pidana khusus. Dalam undang-undang hukum pidana khusus setiap delict dinyatakan dengan tegas, apakah merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Sebagai dasar perbedaan antar misdrijven dengan overtreidingen, ternyata dari M, V, T (memorie van toelichiting) bahwa membentuk KUHP, mengenai kejahatan didasarkan atas rechtsdelicten. Rechtsdelicten adalah perbuatan-perbuatan yang menurut sifatnya dipandang sebagai ketidak adilan (onrecht) dan karena itu perbuatan itu harus dipidana, misalnya pembunuhan.
Overtreidingien (pelanggaran) berdasarkan wetsdelicten. Wetsdelicten adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, justru perbuatan itu dianggap bertentangan dengan hukum, karena itu mempunyai sifat yang patut dipidana, misalnya pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.
Menurut doktrin dasar perbedaan antara misdrijven dengan overtreidingen, yaitu “kejahatan disebut crimineel onrecht, dan pelanggaran disebut pilitie onrect”.
Perbedaan dimaksud menurut para ahli hukum sebagai berikut :
1. Binding
Crimineel Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan umum.
Politie Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang terdiri atas perbuatan- perbuatan yang tidak mentaati suatu larangan.
2. Meyer
Crimineel Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan menurut kebudayaan (Cultuur normen). sedangkan Politie Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan negara.
3. Gewin
Crimineel Onrecht adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan (gerechtigheid) yang ditentukan oleh Tuhan.
Politie Onrecht adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan umum, seperti ditetapkan oleh penguasa.
4. Crutsberg
Crimineel Onrecht adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Polotie Onrecht adalah pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang ditentukan oleh negara .
Pendapat para ahli hukum diatas hanya berguna semata-mata berharga dalam dogmatik (ilmu pengetahuan hukum pidana) karena batasan antara Crimineel Onrecht dengan politie Onrecht tidak begitu jelas.

C. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Sifat umum dari suatu tindak pidana ialah tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu, melanggar atau memperkosa kepentingan hukum.
Kepentingan hukum yang harus dijaga, yaitu :
1. Hak-hak (rechten)
Hak atas milik, hak milik akan benda, hak kemerdekaan pribadi
2. Keadaan (Toestanden)
Ketenteraman, ketertiban dalam masyarakat, misalnya ketenteraman dimalam hari, waktu tidur terganggu oleh orang lain yang berteriak-teriak.
3. Hubungan hukum (Rechtsbetrekingen)
Hal ini terdiri dari, misalnya dalam hal jual beli barang atau sewa menyewa toko, bila tidak sesuai dengan perjanjian adalah melanggar hubungan hukum.
4. Bangunan-bangunan masyarakat (Sociale instellingen)
Misalnya dalam hal perkawinan, karena masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang harus dijaga, karena itu bangunan masyarakat, seperti perkawinan itu adalah penting/ perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum.
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) kepentingan hukum (rechtsbelang), terdiri atas :
a. Kepentingan perseorangan (hetbelang van individu);
b. Kepentingan masyarakat (hetbelang van de gemeinschap);
c. Kepentingan negara (het belang van de staat)
Selanjutnya paba bagian ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur tindak pidana, yang dirumuskan dalam ketentuan hukum pidana (KUHP).
Unsur-unsur tindak pidana, pada umumnya memiliki dua unsur yaitu :
1. Unsur objectif, yaitu unsur-unsur yang terdapat/dirumuskan dalam undang-undang, diluar diri sipelaku, perbuatan mana merupakan perbuatan yang dilarang.
2. Unsur Subjectif, yaitu unsur-unsur yang terdapat didalam diri manusia atau pelaku tindak pidana yang juga dirumuskan dalam undang-undang.
Beberapa contoh mengenai unsur-unsur tindak pidana :
1. Pasal 281 KUHP, yang berbunyi : “dipidana dengan hukuman penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda Rp. 300,-
1) Barangsiapa dengan sengaja merusak kesusilaan dihadapan umum:
2) Barangsiapa dengan senjaga merusak kesusilaan dimuka orang lain, yang hadir dengan tidak berkemauan sendiri.
Unsur objektifnya dari ketentuan pasal 281 KUHP, yaitu :
a. Perbuatan yang dilarang ialah merusak kesusilaan.
b. Ditempat umum (yang dapat dilihat oleh setiap orang)
Unsur subjektif yaitu :
Dengan sengaja, perbuatan yang dapat melanggar kesusilaan itu umumnya telanjang dimuka umum. Dalam delik ini tidak disebutkan nama delik, tetapi yang disebut hanya unsur-unsurnya.
2. Pasal 263 KUHP, tindak pidana pemalsuan surat.
Unsur Objektifnya :
a. Perbuatan yang dilarang membikin palsu, atau memalsukan.
b. Apa yang dipalsukan, misalnya surat.
c. Surat yang bagaimana, misalnya surat yang dapat menimbulkan :
1) pembebasan hutang
2) hak
3) ikatan
3. Pasal 187 KUHP, tindak pidana menghasut
a. Menimbulkan kebakaran, banjir, peletusan akibat perbuatannya tersebut, perbuatannya sendiri dapat bermacam-macam.
b. Apabila timbul bahaya umum dari pada harta benda atau jiwa orang lain.
Unsur subjektifnya, yaitu dengan sengaja
Dalam KUHP ada juga pasal-pasal yang tidak mengutarakan unsur-unsurnya, tetapi hanya menyebutkn nama delik, yaitu :
a. Pasal 351 KUHP (Penganiayaan/mishandeling);
b. Pasal 184 KUHP (perkelahian/tweevrecht).
Adapula delik yang diberi nama oleh yurisprudensi, seperti pasala 281 KUHP, yuridisprudensi menamakan oprien (melanggar kesusilaan) pasal 167 KUHP, deliknya dinamakan oleh Yurisprudensi, veredebreak (merusak).
D. AJARAN SEBAB AKIBAT (DE LEER DEERCAUSALITET)
Cara untuk menentukan hubungan dari sebab akibat dikenal beberapa ajaran/ aliran, yaitu :
1. De Leer van de conditio sine quanon (Von de Buri);
2. De Adequate theorie (Traiger)
a. De individualeserende theirie
b. De Greneraleserende theorie
Ad. 1. De Leer van de conditio sine quanon
Berdasarkan ajaran ini, bahwa perbuatan atau masalah harus dianggap sebagai sebab akibat, apabila perbuatan (masalah) mana yang merupakan akibat itu. Karena itu perlu diselidiki dulu perbuatan (masalah) mana yang merupakan akibat. teori ini disebut juga de Voorwaarde theorie (Voorwaarde van het gevolg).
Menurut van de Buri, bila syarat dari akibat, yakni bila perbuatan (masalah) itu tidak dapat ditiadakan untuk menimbulkan akibat itu, maka perbuatan (masalah) itu adalah sebab. Jadi tiap-tiap perbuatan, tiap-tiap masalah dalam rangkaian merupakan syarat dan harus dianggap sebagai sebab, sehingga syarat-syarat itu mempunyai nilai yang sama. Karena itu teori ini disebut De Equivalente Theori.
Contoh Kasus
A bertengkar dengan B, sehingga A marah. Dalam pertengkaran itu A lalu menampar B. Sesudah kena tamparan si A, karena B merasa sakit lalu ia berjalan menuju kerumah dokter untuk berobat, ditengah jalan ia ditambrak oleh C yang mengendarai sepeda motor sehingga B menderita luka parah, selanjutnya B meninggal.
Dalam hal ini siapakah yang dapat dipertangungjawabkan dalam hukum pidana terhadap matinya B. Rangkai dari perbuatan (masalah) ini kita ketahui, bahwa yang pertama A menampar B, kemudian B berjalan menuju kerumah dokter. Diperjalanan B ditabrak C yang mengendarai Sepeda Motor.
Ditengah jalan adalah salah satu mata rantai, kemudian sebelum meninggal B luka kena tabrak sepeda motor C.
Apabila dianut ajaran Van De Buri. Maka perbuatan A juga menjadi sebab dari matinya B.
Menurut Van de Buri (alam pikirannya), maka seandainya A tidak menampar B, maka B tidak akan pergi dan membutuhkan dokter, B tidak akan luka parah karena ditabrak sepeda motor C di tengah jalan. Dan B tidak akan meninggal.
Perbuatan A yang hanya menampar B, hanya dianggap pula sebagai penyebab matinya B. Demikian juga perbuatan B sendiri setelah ia ditampar, ia berjalan menuju kerumah dokter, ini juga di anggap sebagai sebab dari matinya B. Karena andaikata ia (B) tidak bejalan menuju kerumah dokter, maka ia tidak akan ditabrak oleh C, dan ia tidak akan luka parah, ia tidak akan meninggal. Dalam kasus ini perbuatan B sendiri dapat dianggap sebagai sebab. Perbuatan C yang menimbulkan luka parah terhadap B, juga adalah sebab dari matinya B.
Dari kasus B ini terlihat bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidananya adalah merupakan pertanggungjawaban pidana yang diperluas, A, B, dan C semuanya merupakan sebab yang menimbulkan akibat (matinya B), dan semuanya harus dipertanggung jawabkan atas akibat yang timbul.
Ad.2. De Adequate Theori (traiger)
Adequate artinya seimbang. Dari rangkaian perbuatan dalam kasus di atas, dicari yang manakah yang seimbang dengan akibat yang ditimbulkan.
Untuk menentukan perbuatan mana yang seimbang, kita mengenal dua cara untuk menentukan perbuatan (masalah) yang manakah yang seimbang dengan akibat yang ditimbulkan. Cara menentukannya sebagai berikut :
a. De Individuale serende Theori
Teori ini memakai ukuran dengan mengambil sandarannya, apabila akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana dengan undang-undang itu telah timbul, maka dicarilah hubunganya dengan salah satu dari perbuatan secara kongkrit dilihat dulu bila akibatnya telah timbul.
Dari contoh kasus diatas tadi, dicari hunbungannya sesudah B meninggal.
Dalam rangkaian perbuatan (masalah) dicari/ditentukan :
1) Perbuatan A kah yang menampar B
2) Perbuatan B sendirikah yang berjalan menuju rumah dokter
3) Atau perbuatan C yang menabrak B
4) Atau keadan B yang luka parah
Bila kita perhatikan dalam kasus ini yang seimbang dengan akibat, yakni matinya B, diantara keempat perubatan (masalah) tersebut dipilih salah satu rangkaian yang dianggap pokok. Perbuatan A menampar B tidak seimbang dengan kamatian B. perubatan B sendiri yang berjalan menuju kerumah dokter, tidak seimbang, tidak akan menimbulkan kematian B. perbuatan C yang menabrak B dengan sepeda motorlah yang seimbang dengan kematian B. oleh karena itu yang harus dipertanggung jawabkan terhadap matinya B dan C.
Pengikut acaran Individuale serende, antara lain :

1. Berck Meyer
Theori Meisk Wirksame Beding Ungen
Dari rangkaian perbuatan-perbuatan atau masalah-masalah itu, yang manakah yang mempunyai pengaruh yang terbesar, untuk menimbulkan akibat.
Dari contoh yang telah dikemukan diatas, perbuatan C lah yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap timbulnya akibat matinya B.
2. Binding
Theori van de gliech gewicth
Binding mempertimbangkan perbuatan atau masalah yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang mendorong kearah timbulnya akibat, jika dibandingkan dengan perbuatan/masalah yang mencegah.
3. Kohler
Theorie van die art Des Merdene
Kohler membandingkan yang manakah, sifatnya yang menjadi sebab dari akibat.
b. Generaleserende Theori
Berdasarkan teori ini cara menentukan sebab dari akibat yang timbul adalah memilih perbuatan atau masalah apakah yang menurut perhitungan yang layak atau pengalaman manusia, maka menampar itu tidak akan menimbulkan matinya B. apakah perbuatan B yang berjalan menuju kerumah dokter itu akan menimbulkan kematian B, tentunya tidak mungkin. C menambrak B dengan sepeda motor itu, memang menurut pengalaman manusia dapat menimbulkan kematian B.
1. Von Kriss
Die subyective Diagnose
Menurut Van Kriss, perhitungan yang layak ialah masalah-masalah yang diketahui oleh sipembuat, sebagai contoh :
A bertengkar dengan B, lalu, A memukul B dengan tinju. Setelah ditinju A, si B lalu meninggal.
Apakah masalah-masalah yang meliputi akibat itu? B. menderita penyakit malaria dan mulutnya bengkak. Jika dipukul mulut itu akan pecah. Lalu mengakibatkan mati B. Andaikata B sehat, ia tidak akan mati ditinju A. Tetapi karena pada saat itu ia menderita penyakit malaria dan mulutnya bengkak, sehingga ia mati. Oleh karena itu untuk menentukan, apakah tinju A menurut perhitungan yang layak seimbang dengan akibat, yaitu matinya B, apakah A tahu, bahwa B menderita penyakit malaria dengan mulut bengkak. Jika si A tidak tahu, maka tinju A itu bukan sebab matinya B.
2. Bumelin
Die objektive Nach Tragische Propose.
Menurut Bumelin, untuk menentukan sebab menurut perhitungan yang layak, adalah dengan memakai sasaran hal-hal yang harus diketahui oleh sipembuat dan masalah yang meliputi yang diketahui dikemudian hari.
Dengan contoh diatas, kemudian baru diketahui bahwa B menderita penyakit malaria, hal ini harus diperhitungkan. Antara pendapat Von Kriss dan Bumelin terdapat pendirian Simons. Simons berpendapat bahwa tidak saja penting masalah yang diketahui atau harus diketahui sipembuat, tetapi masalah yang pada umumnya diketahui adanya, yang meliputi akibat itu. Masalah yang dipakai sebagai sandaran/dasar adalah :
a. pembuat sendiri
b. harus diketahui
c. harus diketahui oleh setiap orang
KUHP menganut teori Causaliteit yang mana ?
Ternyata pembentuk KUHP tidak memilih salah satu ajaran (teori) di atas. Bagaimana pula pendapat Yurisprudensi mengenai Causaliteileer itu ?
Untuk ini perlu diselidiki Arrest dari Hoogeraad. Ternyata dalam beberapa keputusan pendirian Hoogeraad selalu berubah, dan tidak tetap.
a. Pada tahun 1911, Hoogeraad menyerahkan kepada hakim sendiri, aliran yang mana yang akan dianut, oleh karena KUHP tidak menganut salah satu dari aliran causaliteit.
b. Dua puluh delapan tahun kemudian(1939) dikenal beberapa Arrestten dari Hoogeraad, menganut aliran pemikiran/ pendirian Van Burri.
c. Kemudian Hoogeraad menganut ajaran De Adequate theori.

E. SIFAT MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTTELIJKHEID)
Untuk dapat mempermasalahkan seseorang yang melakukan suatu delict, adalah apabila seseorang itu mempunyai schuld (kesalahan) dan juga harus memenuhi syarat-syarat yang disebut delict itu sendiri. Jadi seseorang itu dapat dipidana apabila melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechttelijkheid), memenuhi unsur-unsur delict yang dilanggar dan ternyata orang itu dapat dipertanggung jawabkan menurut ketentuan hukum pidana.
Dalam hukum pidana terdapat beberapa faham, apakah wederrechttelijkheid harus dianggap sebagai unsur dari setiap delict, atau tidak.
Simons, yang menyatakan walaupun wederrechttelijkhied itu pada hakekatnya telah tersimpul dalam tiap-tiap delict, namun tidak dapat dianggap sebagai unsur yang positif. Oleh karena itu Wederrechttelijkhied bukan merupakan unsur dari pada delict. Kecuali dinyatakan secara tega. Alasannya berdasarkan suatu adigium” Eeen is der wordt geacht de wet te keunen”. Berdasarkan azas ini maka apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang diralang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, ia harus tahu, bahwa perbuatannya dilarang.
Simons menafsirkan sifat wederrechttelijkheid sebagai formale wederrechtelijkheid.
Selanjutnya menurut paham Zevenbergen, sifat dari Wederrechtelijkheid adalah unsur dari pada tiap-tiap delicth yang setiap kalinya harus dibuktikan. Untuk mempertahankan ajarannya ia mengemukakan alasan, bahwa delict itu tidak hanya terdiri atas perbuatan yang terlarang, tetapi delict itu juga harus dapat dipersalahkan terhadap sipembuat. Pengertian dari delict tidak saja menurut wederrechtelijkheid, tetapi juga schuld.
Dengan menghubungakan wederrechtelijkehid dengan schuld, maka menurut zevenbergen schuld berarti bahwa perbuatan seseorang itu dapat dipersalahkan kepada sipembuat dan schuld ini mengandung arti verwijtbaarheid. Oleh karena itu untuk mempersalahkan seseorang, perbuatan yang dilakukan itu harus merupakan perbuatan yang terlarang, sebab perbuatan yang diperkenankan tidak dapat dipersalahkan kepada sipembuat.
Zevenbergen menafsirkan wederrechtelijkheid sebagai materiele wederrechtlijkheid.
Formale wederrechtelijkehid, sesuatu perbuatan adalah wederrechteljkheid, karena dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Materiele wederrechtelijkehid, sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijkehid walaupun tidak tegas dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Bila dalam perumusan delict oleh undang-undang, bahwa wederrechtelijkheid itu bukanlah merupakan unsur. Jadi tidaklah perlu dibuktikan bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum.
Alam pikiran Simons bahwa :
1. Bila perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, maka dengan sendirinya perbuatan itu bersifat wederrechtelijkheid, karena wederrechtelijkheid itu ialah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Jadi tidak usah dibuktikan perbuatan itu adalah wederrechtelijkheid
2. Selain itu dikenal suatu adagium “ichderren wordt geacht de wet te keneen”, maka kalau ia berbuat ia tentu mengetahui bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum, karena itu tidak perlu dibuktikan.
Walaupun dalam suatu perumusan delict tidak dinyatakan dengan tegas, bahwa wederrechtelijkheid sebagai unsur, tetapi wederrechtelijkheid itu harus dianggap sebagai unsur, karena itu harus dibuktikan bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum. Penganut ajaran ini adalah Van Hamel dan Zevenbergen. Mereka mengartikan wederrechtelijkheid itu sebagai materialee wederrechtelijkheid. Artinya seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang agar dapat dihukum, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang dan bertentangan dengan paham kemasyarakatan. Apabila menurut paham kemasyarakatan perbuatan itu diaggap tidak bertentangan dengan paham kemasyarakatan, maka sipembuatnya tidak boleh dihukum.
Sebagai contoh : di Daerah pedalaman Irian Jaya, berpakaian tidak lengkap laki-laku maupun perempuan tidak merupakan perbuatan yang tidak sopan atau bukan perbuatan melawan hukum, karena itu hal yang demikian berdasarkan paham masyarakat di sana perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.

BAB III
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

A. PENGERTIAN
Pertanggungan jawaban pidana, berarti apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, apakah itu merupakan suatu tindak pidana berbuat, yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, atau suatu tindak pidana tidak dengan berbuat, tetapi seseorang telah melanggar kewajibannya berdasarkan ketentuan hukum pidana. Seseorang yang telah melakukan tindak pidana tersebut harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Orang tersebut dianggap mempunyai kesalahan (Schuld) dalam hukum pidana, dan dapat dipidana sebagai pertanggungan jawab pidana.
Sebagai contoh : Seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana pembunuhan, diancam pidana 15 tahun penjara, karena ternyata telah melanggar ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 338 KUHP.
Pasal 338 KUHP, menegaskan bahwa : “Barang siapa dengan sengaja merampas jiwa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.
Contoh lain : Apabila seseorang dipanggil sebagai saksi dengan sengaja tidak datang/tidak memenuhi kewajiban, dapat dipidana. Hal ini didasarkan pelanggaran pasal 224 KUHP : “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan penjara paling lama 9 bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana paling lama 6 bulan.
Dengan demikian apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana, maka orang yang melanggar tersebut harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.
Dalam hal-hal tertentu orang yang dianggap telah melakukan tindak pidana tidak dapat dipidana. Hal ini merupakan pengecualian, dan diatur tersendiri di dalam KUHP, seperti keadaan terpaksa, pembelaan, menjalankan perintah jabatan, dan menjalankan undang-undang. Karena itu pada prinsifnya, apabila terjadi suatu tindak pidana oleh siapa saja, harus bertanggung jawab atas tindakannya itu.

B. KESENGAJAAN DAN KEALFAAN
Dalam hal pertanggungan jawab pidana, karena kesalahan (Schuld) seseorang dalam hukum pidana dikenal dengan istilah Opzet (kesengajaan) dn Culfa (kelalaian).
1. Kesengajaan (Opzet, Dolus)
Opzet merupakan salah satu unsur dari tindak pidana (delict). Dalam doktrin inti dari opzet adalah kehendak seseorang (de will). Kehendak (de will) iotu pertama ditujukan kepada perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, yang disebut Formil Opzet.
Kedua ditujukan kepada akibat, yang disebut materil Opzet.
Berdasrakan memorie van toelichting (penjelasan KUHP) kehendak itu digunakan istilah Wilelens en Wetens. Maksudnya bahwa seseorang melakukan perbuatn yang tertentu tidak hanya menghendakai perbuatannya, juga harus menginsyafi apa yang diperbuatnya. Karena itu ia harus insyaf bahwa apa yang dampat ditimbulkan dari perbuatannya.
Ada 2 teori mengenai Opzet (kesengajaan), yaitu :
a. De wills theori ;
b. De voorstelling theorie
ad. a. De wills theorie (teori kehendak)
Menurut teori ini, apabila seorang melakukan perbuatan tertentu, tentu ia melakukannya dengan maksud untuk menimbulkan akibat tertentu, karena jika ia tidak mengkehendaki demikian, maka dengan sendirinya dia tidak akan berbuat. Oleh karena itu ia melakukan perbuatan itu, justru ia hendak menimbulkan maksud tertentu dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana.
ad. b. De voortelling theori (teori harapan / membayangkan)
Menurut teori ini, perbuatan memang dikehendaki, tetapi akibatnya tidak dapat dikatakan dikehendaki oleh sipembuat. Akibat itu hanya dapat diharapkan/dibayangkan akan timbul.
Antara wills theori dan de voorstelling theori tidak terdapat perbedaan yang prinsipill, hanya terdapat perbedaan dalam cara merumuskan dalam alam pikiran/konsep.
Kehendak seseorang untuk mencapai tujuan disebut Oogmerk. Adanya opzet karena adanya dorongan (motif) keinginan (opzet) dn tujuan (Oogmerk).
Menurut doktrin terdapat beberapa bentuk (gradaties), dengan perincian sebagai berikut :
1) Opzet als Oogmerk.
2) Opzet Bijzakerheidbewustzijn of Bijnoodsakelijkheid Bewustzijn.
3) Opzet Bijmugelijkheid/Bolus Oventualis/Voorwaardelijk opzet.
ad. 1. Opzet Als Oogmerk (tujuan)
Seseorang melakukan perbuatn tertentu dengan sengaja, dengan maksud untuk menimbulkan akibat tertentu. Terhadap akibat yang timbul itu, sipembuat mempunyai opzet als oogmerk, misalnya A melepaskan tembakan dengan tujuan tertentu, yaitu untuk menimbulkan kematian orang lain.
ad. 2. Opzet Bijzakerheidbewustzijn (pasti)
Seseorang melakukan perbuatan dengan maksud untuk menimbulakan suatu akibat tertentu, tetapi disamping itu ia insyaf bahwa pasti ia menimbulkan akibat yang lain pula, yang tidak dikehendakinya. Terhadap akibat ini ia mempunyai Opzet Bijzakerheidsbewustzijn.
Sebagai contoh A mempunyai kehendak untuk membunuh B dengan melepaskan tembakan. A itu adalah opzet als oogmerk. Tetapi B duduk di balik kaca, A memahami bahwa untuk membunuh B, peluru yang dilepaskan itu pasti menembus kaca.
Terhadap perbuatn memecahkan kaca itu, maka A mempunyai opzet bijzakerheidbewustzijn. Sedangkan terhadap matinya B, ia mempunyai opzet oogmerk. Dalam hal ini melakukan dua jenis kejahatan sekaligus.
ad. 3. Opzet Bijmegelijkheid Bewustzijn (mungkin)
Seseorang melakukan suatu tindak perbuatn dengn maksud untuk melakukan suatu akibat tertentu, akan tetapi disamping itu ia insyaf, bahwa ia mungkin akan mengakibatkan suatu tindak pidana lain atau mungkin ia kan menimbulkan suatu akibat yang lain yang tidak dikehendainya.
Sebagai contoh : A mempunyai kehendak untuk membunuh B dengan membawa senjata api, ketika ia datang ketempat B, B berada diteras rumahnya dan disekitar B ada beberapa anak-anak yang sedang bermain. Didorong maksud untuk membunuh B, A melepaskan tembakan kearah B, sedangkan A insyaf bahwa karena adanya anak-anak dsekitar B, mungkin peluru yang dilepas A akan mengenai anak-anak B, walaupun A insyaf atas kemungkinan itu, tetapi A melakukannya. Sesudah melepaskan tembakan ternyata bahwa tembakan tidak mengenai B, melainkan mengenai anakya. Terhadap matinya anak B, mak A mempunyai Opzet bijmogelijkheids bewustzijn.
Dalam hukum pidana mengenai pengertian Opzet, selain bentuknya, dikenal pula :
1. Dolus generalis (Algemene opzet) ;
2. Dolus Determinatis;
3. Dolus Indirective.
ad. 1. Dolus Generalis
Seorang mempunyai maksud untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, tetapi ia tidak mempunyai tujuan tertentu. Sebagai contoh A bermaksud untuk melakukan pembunuhan, hanya semata-mata membunuh saja. Ia tidak punya tujuan tertentu. Hal ini sebenarnya tidak mungkin.
ad. 2. Dolus Determinatis
Bahwa opzet ini tidak ditujukan kepada tujuan tertentu. Sebagai contoh misalnya A melemparkan granat di tempat keramaian. Ia tidak mempunyai maksud membunuh si A atau B, tetapi siapa saja yang berada disana. Maksudnya adalah untuk menimbulkan matinya orang-orang yang berada di situ.
ad. 3. Dolus Indirectus
A bermaksud membunuh B tetapi secara tidak langsung, yang terkena sasaran tembakan A adalah C. Terhadap matinya C tidak dimaksudkan oleh A, karena ia tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap matinya C. Teori ini tidak dianut, karena akan membahayakan / menyulitkan dalam prkatek.
Dasar hukum dari kesengajaan opzet (dolus) ialah bahwa justru karena sipembuat menghendaki perbuatannya, maka didasarkn atas tata susila, ia harus dipertanggung jawabkanterhadap perbuatannya.
2. Kelalaian (Culfa)
KUHP tidak merumuskan secara tegas apa yang dimaksud dengan kelalaian (culfa), karena itu kita harus menemukan dalam doktrin (ilmu pengetahuan) hukum pidana.
Berdasarkan doktrin inti dari culfa itu terdiri dari 2 syarat :
a. Seseorang dikatakan lalai, harus dapat dikatakan bahwa orang itu kurang hati-hati dalam melakukan perbuatannya.
b. Akibat yang dituju oleh perbuatn seseorang itu yang dilarang dan diancam dengan pidana itu harus dibayangkan oleh sipembuat. Apabila tidak dapat dibayangkan, maka orang itu tidak dapat dikatakan lalai.

Dasar hukum dari Culfa, ialah perlindungan masyarakat, yaitu tiap anggota masyarakat harus dapat diharapkan, bahwa dalam perbuatannya atau tindakannya, ia berusaha sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan kerugian sesama manusia.
Berdasarkan m.v.t. (memorie van toelichting) dari KUHP Culfa adalah kekurangan pengetahuan dan kekurangan kebijaksanaan. Artinya seseorang tidak mempergunakannya atau ia kurang kebijaksanaan.
Sebagai contoh A membersihkan senjata api. Sebelum membersihkan senjata itu, ia seharusnya memeriksa senjata api itu terlebih dahulu, apakah senjata itu sedang berisi peluru atau kosong. Apabila ia tidak memeriksanya, ketika ia membersihkan senjata itu meletus dan mengenai seseorang yang kebetulan berada disekitarnya.
Dalam contoh ini A dikatakan lalai / kurang hati-hati dan A dapat dipertanggun jawabkan.
Dalam doktrin, dikenal beberapa jenis culfa, yaitu sebagai berikut :
1. Culfa Lata (kelalaian berat)
Untuk mengukurnya / menilainya dipakai perbandingan dengn orang yang setingkat dengan golongannya.
2. Culfa Levis (kelalaian ringan)
Untuk mengukurnya / menilainya dipakai perbandingan dengan orang yang terpandai dari golongan sipembuat.
3. Bewuste Schuld
Pembuat telah dapat membayangkan akibat yang dilarang karena itu ia berusaha menghalang-halangi akibat itu, walaupun ia telah berusaha, akan tetapi akibatnya timbul juga.
4. Onbewuste Schuld
Seseorang melakukan perbuatan dan ia tidak membayangkan / memperhitungkan akibat yang akan timbul, padahal seharusnya ia memperhitungkannya dan membayangkannya.

Apabila dalam delict tidak dinyatakan bahwa opzet atau culfa itu adalah sebgai unsur, tetapi seseorang itu dapat dipidana, karena perbuatannya maka tidak perlu dibuktikan adanya opzet atau culfa. Hal ini disebut “De leer van het materiele feit”.
Seajak tahun 1919 ajaran ini telah ditinggalkan, karena dengan adanya Arrest Hoogeraad yang terkenal : “Melboer Arrest”. Dalam Arrest itu ditetapkan bahwa unsur Schuld (kesalahan) itu diperlukan.

C. AJARAN TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (AZAS GEENSTRAFZONDER SCHULD)
Kesalahan (schuld) dalam hukum pidana mengandung pengertian bahwa seseorang itu dapat dipertanggung jawabkan, terhadap perbuatnnya.
Menurut Schuld Leer, kesalahan itu dapat dilihat dari segi :
1. Schuld in Sosiale ethischezijn
2. Schuld in Strafrechtelijkezijn
ad. 1. Schuld in siciale ethischezijn.
Schuld in Sociale ethischezijn ialah hubungan jiwa antara seseorang yang melakukan perbuatan yang sedemikian rupa sehingga perbuatannya itu dapat dipersalahakan kepada sipembuatnya.
Pada umunya keadaan jiwa sipembuat itu dapat dipersalahkan ialah apabila jiwa seseorang itu adalah sehat.
Seseorang dapat dikatakan mempunyai jiwa yang sehat, apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
Prof. Van Hamel menetapkan 3 syarat, yaitu :
1. Seseorang itu dapat dipersalahkan terhadap perbuatannya, apabila keadaan sipembuat adalah sedemikian rupa, sehingga pertama-tama ia dapat memahami harga dari perbuatannya, dapat menilai perbuatannya, dan dapat mengerti akibat-akibat dari perbuatannya.
2. Apabila ia dapat pula memahami bahwa perbuatannya itu menurut paham masyarakat adlah perbuatan yang dilarang.
3. Orang itu harus dapat menentukan kehendaknya terhadp perbuatnnya.

Prof. Simons, menetapkan 2 syarat, yaitu :
1. Jika seseorang dapat menginsyafi, bahwa perbuatnnya itu adalah perbuatan yang dilarang.
2. Ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.

Menurut memorie van toelichting KUHP, seseorang itu tidak dapat dipersalahkan apabila :
1. Seseorang itu tidak bebas menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
2. Seseorang itu tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya sedemikian itu adalah perbuatan yang terlarang.
Sebagai contoh : Orang yang tidak bebas menentukan kehendaknya, ialah seseorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melakukan perbuatan yang terlarang.
Seseorang yang dikatakan tidak menginsyafi, bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan terlarang, yaitu apabila seseorang yang melakukan perbuatan dalam keadaan tidak sadar, misalnya orang yang sedang emosional/sangat marah sedemikian rupa sehingga ia tidak menginsyafi apa yang diperbuatnya.

ad. 2. Schuld in Strafrechtelijkezijn (kesalahan dalam hukum)
Penjelasannya sama dengan bagian B, dlam hal Kesengajaan dan kealpaan (hal 47 – 52 ).
Berdasarkan uraian diatas, yaitu ajaran mengenai kesalahan (Schuld leer), maka azas geenstrafzonder Schuld, adalah suatu azas bahwa seseorang tidak dapat dipidana, apabila ia tidak mempunyai kesalahan. Apabila seseorang tidk mempunyai schuld, maka ia tidak dapat dipidana.
Sandaran azas geenstrafzonder schuld adalah bahwa seseorang itu tidak mempunyai schuld, yang menjadi dasar untuk meniadakan kesalahannya, misalnya karena Overmacht (keadaan terpaksa). Selain itu juga sebagai sandarannya adalah wederrechtelijkheid (perbuatan melawan hukum). Dalam hal ini walaupun undang-undang secara tegas mengatur suatu perbuatan itu diperkenankan / dibenarkan, maka seseorang itu tidk dapat dihukum. Misalnya seseorang yang menjalankan perintah jabatan dalam keadaan membela diri (noodwer), karena keadaan jiwanya terancam, ia lalu melakukan pembelaan dengn menyerang lawannya, sehingga lawnnya tersebut terluka parah dan akhirnya meninggal. Petugas yang bersangkutan tidak dapat dihukum karena dianggap tidak bersalah.

D. KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB
Dalam hukum pidana seseorang baru dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya, apabila orang tersebut mempunyai schuld (kesalahan) dan mempunyai jiwa yang sehat dan mempunyai kesadaran jiwa atas perbuatannya itu.
Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa, sehingga ia dapat memahami akibat dari perbuatannya, dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu adalah terlarang, dapat menentukan kehendaknya dengan bebas akan perbuatannya.
Menurut doktrin orang yang tidak dpat dipidana atau tidak mampu bertanggung jawab, untuk menentukan hal itu dengan cara :
1. Beologische methode
Dengan mengambil sebab keadaan jiwa yang sakit, orang yang melakukan suatu tindak pidana tidak dapat dipidana karena keadaan jiwanya yang sakit.
2. De Psychologische methode
Cara menentukanya ialah dengn menunjukkan hubungan antara jiwa seseorang dengan orangnya. Orang itu tidak dapat dipidana, apabila ia tidak dapat memahami bahwa perbuatannya itu dilarang.
Berdasrkan pasal 44 KUHP ada 2 hal yang dapat menjadi dasar untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan atau tidak dapat dihukum ialah :
1. Bila keadaan jiwa seseorang diganggu oleh suatu penyakit.
2. Bila jiwa seseorang tidak tumbuh dengan sempurna dan perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.
Seorang yang kemampuan untuk berpikirnya adalah sehat tetapi keadaan jiwa orang itu tidak dapat memahami apakah perbuatan itu dilarang atau tidak, keadaan ini disebut Insania morales.
Seseorang yang melakukan tindak pidana, tetapi dalam kenyataannya mungkin orang itu mempunyai jiwa yang sehat, terbukti kesehatannya (jiwa) berkurang, karena itu ia tidak dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya, tetapi dikurangi, keadaan ini dinamakan “Vermindende Toerelekeningsvaatbaarheid”.
Di negeri Belanda dinamakan Psychopathen, yaitu orang yang rasa pertanggung jawabkannya agak berkurang, karena itu pula di negeri Belanda dikeluarkan psychopathen Wet.
Apabila terhadap perbuatan tertentu, seseorang jiwanya sebahagian dihinggapi penyakit disebut sedeetelijke Toerelekeningsvaatbaarheid atau Monomanen.
Bentuk-bentuk monomanen (sebagian jiwanya sehat, sebagian sakit) :
1. Keptomanie
Seorang keeptomanie gemar terhadap perbuatan tertentu, tetapi ia tidak sadar akan perbuatannya itu. Misalnya ia suka mengambil barang tertentu, seperti sendok atau garpu, dimana saja ia berada, padahal ia seorang yang mampu/kaya. Kalau ditanyakan kepadanya mengapa barang itu diambil, ia tidak sadar.
2. Pyromania
Seorang pyroman gemar membakar sesuatu, ketika melakukan perbuatan itu ia tidak sadar membakar sesuatu itu, ia tidak sadar.
3. Mymphomanie
Seorang mymphoman ialah seorang laki-laki yang suka melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengn perempuan.

Seseorang yang membuat dirinya kedalam keadaan tidak sadar untuk melakukan tindak pidana disebut “Actio Lebra in Causa”.
Sebagai contoh A bermusuhan/menaruh dendam terhadap B, lalu A minum-minuman keras, sehingga ia mabuk dan berani. Kemudian ia memukul B, dalam hal ini A dapat dipertanggung jawabkan, karena dalam mabuk itu ia dapat menentukan kehendaknya terhadap B.
Orang yang melakukan tindak pidana tetapi ia belum dewasa menurut pasal 45 KUHP, apabila usianya belum mencapai 16 tahun melakukan tindak pidana, kepada Hakim diberikan tiga kemungkinan, yaitu :
1. Menjatuhkan pidana;
2. Memutuskan agar anak itu dikembalikan kepada orang tua / walinya / perawatnya. Jadi tidak dijatuhi pidana.
3. Menetapkan bahwa anak itu akan diserahkan kepada Pemerintah.

E. KEKELIRUAN/KESALAH PAHAMAN (DWALING/ERROR)
Dwaling adalah kesalah pahaman, yang terdiri atas :
1. Kesalah pahaman yang sebenarnya (Fetelijke dwaling), yaitu kesalah pahaman salah satu unsur dari delict.
Misalnya A melihat suatu barang yang ingin dimilikinya. Ia kira bahwa barang itu milik orang lain, lalu barang itu diambilnya. A beranggapan ia mencuri barang itu, tetapi ternyata kemudian, bahwa barang itu memang akan dihadiahkan kepada oleh si B. Jadi barang itu milik A. Dalam hal ini, maka barang orang lain tidak terpenuhi, tetapi A mengambil barangnya sendiri, sebelum diberikan oleh B kepadanya sebagai hadiah.
2. Kesalah pahaman dibidang hukum (Rechtdwaling)
Misalnya A melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Tetapi A tidak mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang terlarang. Dalam hal ini berdasarkan Fictie maka A tetapdapat pidana.
Dalam bahasa Romawi, dwaling disebut error.
Error (dwaling) dapat berupa :
1. Error in Objecto, yaitu mengenai barang / objek yang menjadi tujuan perbuatan yang terlarang.
Sebagai contoh A bermaksud membunuh B secara terang-terangan, akan tetapi A tidak berani, sehingga ia mengintai B kapan ia pulang kerumahnya. Kemudian A mengethui bahwa hampir tiap malam B pulang pada malam hari pukul 21.00 wib. Setelah itu A pada malam berikutnya bersembunyi dekat rumah B, tepat pukul 21.00 WIB, A mendengar ada orang datang, dikira A adalah B. Lalu ia keluar dan melakukan pembunuhan terhadap orang itu. Tetapi ternyata orang yang dibunuh A bukanlah B, melainkan C yang bukan objek sasaran A.
Apabila B yang terbunuh A diancam dengan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). Karena yang terbunuh C, maka A dapat dipidana berdasarkan 338 KUHP (pembunuhan) biasa. Kasus A ini merupakan Error in Obejcto. A tidak dapat dipidana.
2. Error In Persona
Adalah kekeliruan mengenai orang (persoon), yang menjadi tujuan perbuatan terlarang.
Sebagai contoh A bermaksud membunuh seorang pejabat. Kemudian ia melaksanakan niatnya, tetapi yang tertembak bukanlah pejabat itu. Dalam hal ini A tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan pasal 349 KUHP, tetapi dapat dipidana berdasarkan ketentuan pasal 338 KUHP.
Dalam contoh diatas, bahwa telah terjadi Error in persona, namun terhadap pelakunya, walaupun orang yang menjadi tujuan/sasaran keliru, tetap dapat dipidana.
Contoh lain :
A berniat membunuh B karena dendam. Selanjutnya A mendatangi rumah B, setibanya didepan rumah B kira-kira pukul 20.00 wib, diteras B ada seseorang laki-laki yang sedang membaca koran danterlihat oleh A ini adalah B, langsung A dengan cepat membacok orang tersebut berkali-kali, ternyata orang itu bukanlah B, tetapi anak B yang mirip dengannya,yaitu si C. Disini terjadi Error in pesona. Kekeliruan terhadap orangnya, tetapi A tetapdpat dipidna karena ia telah membunuh C.
Dwaling atau Error berkaitan erat dengan kesengajaan Opzet, karena pada saat melaksanakan kejahatan telah terdapat unsur opzet (kesengajaan), walaupun terjadi kekeliruan terhadap objek dan orang yang menjadi korban kejahatan.

BAB IV
HAL-HAL YANG MENIADAKAN, MERINGANKAN
DAN MEMBERATKAN PIDANA

A. HAL-HAL YANG MENIADAKAN PIDANA
Hal-hal yang meniadakan pidna didasarkan pada :
1. Alasan pemaaf; pasal 48, 49
2. alasan pembenaran; pasal 50, 51
Dalam hukum pidana dikenal istilah Strafnitsluitings gronder. Pengertian dari Strafsnitsluitingsgronder adalah hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan, bahwa seseorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (perbuatan berupa delict) tidak dapat dipidana.
Dalam praktek strafnitsluitingsgronder disebut faits d’ excuses, yang berarti hal-hal yang memaafkan.
Menurut m.v.t : hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang melakukan delict tidk dapat dihukum terletak pada orangnya sendiri (sebab dari dalam/ in wendige oorzaken) keadaan seperti ini diatur dalam pasal 44 KUHP ayat (1) :
“Barang siapa melkukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
Terhadap orang yang jiwanya dihinggapi penyakit atau tidak tumbuh deng sempurna, bila melakukan tindak pidana tidak dipidana (dapat dimaafkan). Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kerumah sakit jiea untuk diobati.
Hal-hal / keadaan yang menyebabkan pidana ditiadakan, oleh karena seseorang tidk dipertanggung jawabkan terhadap perbuatnnya itu terletak diluar diri sipelaku (uit wendige oorzaken). Ketentuan keadaan seperti ini diatur dalam pasal 48, 49, 50 dan pasal 51 KUHP.
ad. 1. Alasan Pemaaf
1. Pasal 48 KUHP :
“Barang siap melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Sebagai contoh : Bila seseorang melakukan sesuatu delict, oleh karena perbuatannya itu dipaksakan oleh orang lain, perbuatannya dapat dimaafkan.
Menurut M.V.T. arti pasal 48 KUHP (Overmacht) adalah tiap-tiap kekuatan/paksaan/tekanan yang sedemikian rupa sehingga kekuatan/ paksaan/ tekanan tak dapat dielakkan. Sifat/Paksaan (Overmacht) terdiri dari :
a. Absolut dwang (paksan absulut) yaitu paksaan yang benar-benar tidak dapat dielakkan.
b. Relative dwang (paksaan relatif), yaitu paksaan yang dapt dielakkan, tetapi dalam keadaan tertentu menurut perhitungan yang layak tak dapat dilakukan.
c. Physiche dwang, yaitu paksaan yang terjadi atas kekuatan badan paksaan yang diderita badan seseorang.
d. Physhiche dwang, yaitu paksaan yang diderita seseorang.
Contoh Overmache karena paksaan absolut (vis absoluta) :
A memgang B dengn kuatnya dan mendorong B memasuki rumah orang lain tanpa izin, sehingga perabot rumah C hancur, karena itu B tidak dapat dipidana, tetapi A lah yang harus dipertanggung jawabkan dan dapat dipidana.
Contoh Overmacht karena paksaan relatif (Vis Compulsiva) : A memaksa B memukul C, dan jika B tidak melaksanakan kehendak B akan dipukul A. Sebetulnya ancaman A yang ditujukan kepad B itu dapat diletakkan, misalnya B melarikan diri. Akan tetapi menurut pikiran yang layak dari orang yang berada dalam keadaan demikian itu tidak dapat diharapkan, bahwa B akan mengelakkan paksaan tersebut, dan akhirnya ia melaksanakan kehendak dari si A.
Selain paksaan itu timbulnya dari manusia dapat pula karena kekuatan alam. Contoh paksaan kekuatan alam :
A sedang mandi dilaut dan pakaiannya diletakkan di tepi pantai ; tiba-tiba timbul angin kencang, sehingga pakaian A terbawa angin ke jalan raya. A terpaksa mengambilnya dijalan raya (umum) tanpa pakaian. Hal ini sebenarnya melanggar kesusilaaan, akan tetapi karena kekuatan alam, maka A terpaksa berbuat demikian. Karena itu tidak dapat dipidana dan perbuatan A tidak dapat dimaafkan.
Berkaitan dengan Overmacht dalam doktrin dikenal dengan noodtoestand (keadaan darurat).
Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand adalah keadaan dimana suatu kepentingan hukum dalam keadaaan bahaya, dan untuk menghindarkannya ( bahaya tersebut), terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain.
Noodtoestand (keadaan darurat), apabila terdapat :
1. Konflik dalam kepantingan hukum
2. Konflik antar kepentingan hukum dan keharusan hukum.
3. Konflik antar dua keharusan hukum.
Menurut doktrin Noodtoestand, tidak termasuk overmacht. Overmacht adalah tekanan atas paksaan itu ditimbulkan oleh manusia, sedangkan noodtoestand tekanan atau paksaan itu timbul oleh masalah-masalah diluar manusia.
Contoh Noodtoestand :
1. Konflik dalam kepentingan hukum
Di tengah lautan sebuah kapal pecah, dan untuk menyelamatkan diri, dua orang berpegangan pada sebuah kayu balok. Balok itu hanya dapat digunakan oleh seorang saja. Karena tidak ada pertolongan dan untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya itu hingga tenggelam dan mati.
2. Konflik antara kepentingan hukum dan keharusanhukum.
A dipanggilsebagai saksi ke Pengadilan untuk didengar keterangannya sebagai saksi. Hal ini merupakan keharusan hukum baginya utnuk dipenuhi, akan tetapi saat ia harus menghadap panggilan, ia jatuh sakit, sehingga tidak dapat memenuhi panggilan itu.
3. Konflik antara dua keharusan hukum
A adalah seorang dokter militer.
Sebagai dokter militer itu mempunyai 2 sifat, yaitu :
a. Ia sebagai seorang dokter;
b. Ia juga sebagai seorang meliter.
Sebagai seorang dokter ia harus menyimpan segala rahasia jabatannya, akan tetapi sebagai militer ia harus tunduk kepada perintah meliter.
Jika oleh atasannya ia ditanya perihal tentara yang dirawatnya ia harus menerangkan yang sebenarnya, akan tetapi bila ia menerangkan keadaan yang sebenarnyadari pasiennya, maka ia akan melanggar rahasia jabatan.
Akan tetapi bila ia tidak menerangkan keadaan sebenarnya, ia melanggar disiplin meliter.
Dalam hal ini terdapat konflik antara dua keharusan hukum

2. Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat ketat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Dalam doktrin pasal 49 KUHP ayat (1) dikenal sebagai Noodweer, pasal 49 ayat (2) KUHP sebagai Noodweer Exces.
Di samping itu dikenal pula Noodtoestand, yang artinya keadaan darurat.
Contoh Noodweer :
A menyerang B. untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan B terhadap A. dalam hal ini A tidak dapat dihukum, dan perbuatannya itu dapat dimaafkan.
Noodweer pasal 49 KUHP, terdiri dari 2 syarat :
1. Syarat pokok terdiri atas 2 hal:
a. harus ada serangan
b. terhadap serangan itu perlu diadakan pembelaan.
2. Syarat-syarat yang terdiri atas :
Sifat syarat-syarat pokok, yaitu :
a. Serangan harus timbul secara mendadak atau serangan itu harus mengancam secara langsung.
b. Serangan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum
c. Sifat pembelaan itu harus benar-benar diperlukan (noodzakelijke).
d. Disamping noodzakelijke, pembelaan itu harus ada kesinambungan antara kepentingan hukum yang dilanggar dan dibela.
e. Kepentingan yang dibela itu hanya mengenai lijf (badan, tubuh seseorang), Eer baar heid (kesusilaan atau sentuhan badan berkaitan dengan kehidupan kelamin).
Selain hal-hal diatas yang merupakan alasan pemaaf (pasal 48 dan pasal 49 KUHP), dikenal pula Putatief noodweer exes.
Putatif noodweer adalah pembelaan yang dilakukan oleh seseorang yang mengira bahwa ia diserang oleh orang lain yang timbul seketika itu juga secara mendadak dan bertentangan dengan hukum.
Putatief Noodweer, apabila :
1. Orang mengira terjadi serangan mendadak tetapi sebenarnya tidak.
2. Pihak ketiga mengira orang lain menjadi korban serangan mendadak, lalu memberikan bantuan.
Perbedaan Noodweer dengan Noodtoestand :
Noodweer :
1. Terdapat hak seorang yang perlu dibela terhadap perbuatan yang melawan hukum.
2. Kepentingan yang dapat dibela hanyalah berupa badan, kehormatan atau barang/benda.
3. Pada umumnya dianggap sebagai rechtvaardigingsgronder (perbuatan yang tidak dapat dianggap melawan hukum).

Noodtoestand
1. Terdapat satu hubungan, dimana terdapat suatu hal yang dihadapkan dengan lain hak, suatu pertentangan antara kepentingan-kepentingan hukum (Conflict van rechts) berlangsung.
2. Pertentangan yang dapat dibela tidak dibatasi, asal kepentingan hukum yang dibela itu seimbang dengan kepentingan hukum yang dilanggar.
3. Masih terdapat perbedaan, apakah bersifat Strafnitsluittingsgrond atau rechtsvaadigingsgrond

Noodweer Exes
Berdasarkan pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa orang yang melampaui batas pembelaan yang perlu, jika perbuatan itu oleh serangan itu, maka orang itu tidak dipidana.
Jadi yang dimaksud dengan Noodweer exes, adalah cara pembelaan diri melampaui batas-batas keperluan pembelaan (Noodzakelijke verdedingin)
Pembelaan melampaui batas, harus memenuhi syarat-syarat :
1. Pembelaan tidak perlu Noodzakelijke, artinya tidak ada jalan lain yang mungkin untuk menghindarkan serangan itu.
2. pembelaan itu tidak perlu geboden. Artinya tidak harus ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang diancam dengan kepentingan hukum yang dilanggar karena pembelaan.
3. serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk) dan tiba-tiba langsung mengancam.
4. Tekanan jiwa dan serangan itu harus ada hubungan causal (causal verband)

Ad. 2 Alasan Pembenaran
1. Pasal 50 KUHP
“ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”
hal ini dalam hukum pidana disebut “ wattelijkeVoorscriften.
Sebagai contoh :
A melakukan sesuatu perbuatan pelaksanaan pidana mati, yang sebenarnya dilarang dan diancam dengan pidana, oleh undang-undang dibenarkan.
Contoh lain :
Dalam operasi meliter melakukan pembersihan/pembantaian terhadap pemberontak, berarti melakukan pembunuhan. Karena melaksanakan ketentuan undang-undang, hal ini tidak dipidana dan dibenarkan
Mula-mula Wettelijk voorschrift ditafsirkan sebagai undang-undang dalam arti formil.
Kemudian pendirian Hoogeraad berubah tidak saja dalam arti formil, tetapi juga dalam artian materiel.
Artinya setiap peraturan yang dibuat oleh badan/organisasi, yang oleh undang-undang diberi kekuasaan untuk membuat peraturan yang mengikat.
Dalam hubungan dengan pelaksanaan undang-undang itu perlu dipahami dengan wewenang dan kewajiban.
Wewenang (bevoegheid), misalnya apabila terjadi suatu kejahatan, maka polisi berkuasa/berwenang untuk melakukan penggeledahan dan pemeriksaan dalam rumah sipelaku.
Kewajiban (verplichting)
Bila seorang polisi mengetahui ada orang melakukan kejahatan, maka ia berkewajiban untuk menangkap orang tersebut.
Dalam melaksanakan wewenang dan kewajiban yang penting adalah pelaksanaannya harus seimbang dan patut, artinya terbatas sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

2. Pasal 51 KUHP :
Pasal 51 KUHP (Amtelijke bevel) terdiri dari 2 ayat :
(1) Barangsiapa melakukan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Dalam hukum pidana disebut Amtelijke bevel
Sebagai contoh :
Pasal 51 ayat (1) KUHP:
A seorang polisi diperintah untuk menangkap seorang penjahat kambuhan (residivis) oleh Komandannya.
Pada saat akan ditangkap penjahat itu melakukan perlawanan dengan pedang. Dalam melaksanakan perintah itu A terpaksa melumpuhkan sipenjahat dengan cara menembaknya agar dapat ditangkap.
Penembakan itu dibenarkan oleh hukum dan A tidak dapat dipidana .
Contoh pasal 51 Ayat (2) KUHP :
Seorang perwira polisi memerintahkan polisi bawahannya untuk memukul seseorang hingga cidera. Perwira tersebut dapat dipidana karena penganiayaan, hal ini karena diluar kekuasaannya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila seseorang menjalankan perintah undang-undang (pasal 50 KUHP) dan menjalankan perintah jabatan yang sah (pasal 51 KUHP), merupakan alasan pembenaran dan terhadap mereka tidak dipidana.
Diluar undang-undang terdapat pula hal-hal yang meniadakan pidana (Strafuitsluitingsgronden).
Ada 4 jenis perbuatan yang meniadakan pidana, yaitu :
1. Perbuatan orang tua terhadap anaknya
Hal ini karena termasuk kekuasaan orang tua terhadap anaknya.
Misalnya, memukul anaknya karena anaknya nakal sebagai pelajaran. Tetapi hal tersebut harus dalam batas yang layak dan wajar, tidak sampai membahayakan jiwa sianak.
Hal ini berlaku terhadap anak yang belum dewasa.
2. Perbuatan seorang ahli dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Misalnya perbuatan percobaan terhadap hewan dengan tujuan untuk memberantas suatu penyakit.
Percobaan terhadap hewan itu adalah menyakiti hewan dengan sengaja termasuk menyiksa binatang.
Karena jelas tujuannya, maka perbuatan seorang ahli tersebut tidak dipidana, walaupun perbuatannya itu melanggar ketentuan pasal 302 KUHP.
3. Perbuatan ahli bedah (Chirurch)
Seorang ahli bedah, yaitu melakukan pembedahan terhadap tubuh manusia, pada hakekatnya perbuatan itu menyakiti dan melukai seseorang,. Jadi merupakan penganiayaan, yaitu menimbulkan rasa sakit atau cidera pada orang lain.
Akan tetapi perbuatan Chirurch ini tidak dipidana, karena perbuatan itu untuk menyembuhkan sipenderita dari penyakitnya.
4. Perbuatan Ahli kebidanan (Gynaecoloog)
Seorang ahli kebidanan membunuh anak yang masih berada dalam kandungan si Ibu, karena untuk menyelamat jiwa si Ibu yang sedang mengandung.
Dikwatirkan kalau tidak digugurkan anak yang masih dalam kandungan itu membahayakan jiwa si Ibu.
Gynaecoloog, melakukan obortus karena dalam keadaan Noodstand (keadaan darurat).
Dikarenakan hal tersebut perbuatan ahli kebidanan tadi tidak dipidana.
Seandainya datang seorang perempuan yang sedang hamil, jika kandungannya digugurkan, dengan alasan ia tidak menginginkan anaknya yang akan lahir itu, hal ini tidak dapat dibenarkan, baik ahli kebidanan itu maupun perempuan tadi, yang kedua dapat dipidana.

B. HAL-HAL YANG MERINGANKAN PIDANA
Hal-hal yang meringankan pidana didasarkan kepada :
1. Diatur dalam KUHP.
2. Berdasarkan praktek

Ad. 1 Hal-hal yang meringankan pidana yang diatur dalam KUHP
Hal ini diatur dalam pasal 45, 53, dan 57 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal 45 jo pasal 46 dan pasal 47 KUHP, maka orang yang dituntut melakukan tindak pidana, tetapi umurnya belum 16 tahun (belum dewasa) maka hakim dapat menentukan bahwa :
1. Memerintahkan dikembalikan kepada orang tuanya.
2. Memerintahkan diserahkan kepada pemerintah untuk dididik
3. Dijatuhkan pidana tetapi maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga
Apabila kejahatan yang dilakukan orang belum dewasa itu diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, hanya dijatuhi pidana penjara paling lama 15 tahun.
Pidana tambahan yang terdapat dalam pasal 10 KUHP tidak diterapkan.
Apabila seseorang melakukan percobaan tindak pidana (Pasal 53 KUHP), maka terhadap orang tersebut dipidana sebagai berikut :
1. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga
2. Jika kejahatan itu diancam pidana mati atau seumur hidup, dipidana paling lama 15 tahun penjara.
Sebagai contoh, seseorang melakukan percobaan tindak pidana pencurian. Artinya tindak pidana pencurian itu belum selesai diluar kemauan sipembuat. Terhadap sipembuat atau sipelaku dapat dipidana karena melanggar pasal 362 KUHP, dengan pidana paling tinggi 5 tahun dikurangi 1/3 dari 5 tahun (1 tahun 8 bulan) menjadi 3 tahun 2 bulan penjara.
Dalam hal pembantuan atau membantu melakukan kejahatan (pasal 57 KUHP), menentukan bahwa :
1. Maksimum pidana pokok dikurangi 1/3.
2. hanya dapat dijatuhi pidana paling lama 15 tahun penjara
3. Pidana tambahan dapat dijatuhkan kepada sipembantu
Jadi hal-hal yang meringankan pidana dapat diberikan kepada orang yang belum dewasa (belum berumur 16 tahun) yang melakukan tindak pidana terhadap orang yang melakukan suatu percobaan kejahatan dan orang yang membantu suatu kejahatan.

Ad.2 Dalam Praktek
Dalam praktek pengadilan, hal-hal yang meringankan pidana terhadap pelaku kejahatan adalah, antara lain :
1. Belum pernah dipidana;
2. Usia masih muda;
3. Sopan dalam persidangan ;
4. Tidak memberi keterangan yang berbelit-belit
5. Menyatakan penyesalannya;
6. Mengakui perbuatannya ;
7. Telah mengadakan perdamaian secara kekeluargaan.
Hal-hal tersebut diatas, lazimnya dalam praktek sebelum hakim menjatuhkan pidana yang merupakan pemidanaan terhadap kesalahan seseorang sebagai pertanggung jawaban pidana atas perbuatannya itu disebutkan alasan-alasan yang meringankan terpidana dan juga alasan-alasan yang memberatkan terpidana.

C. HAL-HAL YANG MEMBERATKAN PIDANA
Hal-hal yang memberatkan pidana dapat dilihat dari
1. Keadaan pelaku;
2. Tindak pidana yang dilakukan;
Dalam KUHP ditentukan bahwa apabila yang melakukan tindak pidana itu adalah seseorang Pegawai Negeri yang melakukan tindak pidana dengan menggunakan jabatan, pengulangan (residivis) dan gabungan tindak pidana (Samenloop), diperberat pidananya, pidananya itu dapat ditambahkan sepertiga dari ancaman pidana ketentuan yang dilanggarnya.
Ad.1 Keadaan Pelaku
Berdasarkan pasal 52 KUHP, bahwa bilamana seorang pegawai negeri karena melakukan delik melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan delik memakai kekuasaan karena jabatannya, pidananya dapat ditambah. Kejahatan jabatan ini diatur secara khusus pada pasal 413 s.d 437 KUHP.
Sebagai contoh :
Seorang pegawai negeri menggelapkan uang karena jabatannya sebagai bendahara. Memalsukan surat-surat penting, menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya. Menyalahgunakan kekuasaannya, menguntungkan diri dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu secara melawan hukum. Membiarkan tahanan melarikan diri. Seorang pegawai negeri melampaui kekuasaannya merampas surat-surat pada instansi lain agar tidak dapat digunakan.
Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebtu dapat ditambah sepertiga (pasal 52 a KUHP)
Sebagai Contoh :
Komplotan bajak laut (perampok). Merampok dilaut dengan menggunakan Kapal Bendera Indonesia, selain mengambil harta orang-orang yang ada di atas kapal yang dirampok, mereka juga membunuh beberapa orang di atas kapal itu, sebelum merampas harta benda yang ada di atas kapal.
Keadaan pelaku yang memiliki jabatan yang syah sebagai pegawai negeri, yang menyalahgunakan jabatan dan kesempatan, pemaksaan sebagaimana yang diatur dalam KUHP, dapat pula disangka/dituntut melakukan tindak pidana korupsi, atau tindak pidana suap.

Ad.2 Tindak Pidana
Hal yang memberatkan pidana kepada pelaku tindak pidana adalah apabila tindak pidana itu telah berulang kali dilakukan, juga apabila terjadi gabungan tindak pidana. Ketentuan pengulangan (residive) diatur pada pasal 486, 487 dan pasal 488 KUHP.
Sebagai contoh :
Seseorang yang telah dipidana karena melanggar pasal 365 KUHP, yaitu pencurian dengan ancaman kekerasan telah bebas menjalankan pidananya. Kemudian setelah bebas itu (keluar lembaga pemasyarakatan) ia kembali melakukan kejahatan yang sama atau kejahatan lain. Terhadap pelaku tersebut pidananya ditambah atau diperberat dengan sepertiga tdari ketentuan pidana yang dilanggar.
Ketentuan mengenai gabungan tindak pidana (samenloop) diatur pada pasal 63 s.d 71 KUHP.
Dalam hal gabungan tindak pidana ini dapat terjadi dalam bentuk :
1. Melakukan suatu perbuatan, tetapi melanggar beberapa aturan pidana.
2. Melakukan beberapa perbuatan, masing-masing perbuatan itu merupakan tindak pidana kejahatan tersendiri.

Sebagai contoh :
1. A mengendarai kendaraan Sepeda Motor, dimalam hari tanpa lampu dan tidak memiliki SIM, juga tidak membawa STNK. Kemudian orang tersebut ditangkap Polisi Lalu Lintas dan ditilang
2. A bermaksud merampok, sebelum membawa lari barang-barang rampokannya. Ia membacok tuan rumah dan memperkosa isteri tuan rumah.
Dengan demikian dari sudut tindak pidana, apabila terjadi residive atau samenloop, maka merupakan suatu alasan untuk memperberat pidana terhadap pelakunya oleh Hakim/Pengadilan.

BAB V
PEMIDANAAN

A. PENGERTIAN
Pemidanaan adalah suatu penjatuhan hukuman yang khusus diberikan kepada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana.
Pemidanaan itu diberikan/dijatuhkan oleh Hakim kepada seseorang yang ternyata setelah melalui sidang pengadilan berdasarkan undang-undang dan alat-alat bukti yang cukup, Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa bersalah melanggar sesuatu ketentuan pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan istilah Pidana dan Pemidanaan.
Pidana maksudnya adalah hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, karena melanggar ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang termuat dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana yang dapat diberikan kepada orang yang melakukan tindak pidana seperti yang ditentukan pada pasal 10 KUHP, yang berupa pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
Pemberian atau penjatuhan salah satu jenis pidana kepada terdakwa yang melanggar ketentuan hukum pidana karena dinyatakan bersalah oleh hakim, dinamakan pemidanaan. Dengan kata lain pemidanaan adalah orang yang dijatuhi pidana karena telah terbukti kesalahannya dengan suatu putusan Hakim.
Sebagai contoh : Kasus pemidanaan
Seseorang yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan tindak pidana perkosaan, melanggar pasal 285 KUHP, Kemudian disidangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri.
Ternyata berdasarkan fakta dimuka persidangan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana perkosaan terhadap B. Oleh Hakim Pengadilan Negeri yang menyidangkan terdakwa A karena kesalahannya dan meyakinkan telah melanggar ketentuan pasal 285 KUHP dipidana dengan pidana selama 7 Tahun penjara. Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim tersebut adalah yang dimaksud dengan pemidanaan.
Menurut penjelasan pasal 51 Rancangan KUHP nasional dijelaskan bahwa : “Pemidanaan merupakan suatu proses, sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkongkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu” . pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemindaan.
Dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan perlindungan masyarakat. Tujuan kedua terkandung maksud bukan saja untuk merehabilitasi, tetapi juga mensosialisasikan terpidana, dan mengintegrasikan yang bersangkutan kedalam masyarakat. Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat, dalam arti reaksi adat. Itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang terganggu oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Jadi pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan keempat bersifat spiritual dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Pada hakekatnya pidana itu merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Ketentuan ini akan berpengaruh terhadap pelaksanaan pidana yang secara nayata akan dikenakan kepada terpidana.

B. TEORI-TEORI DAN TUJUAN PEMIDANAAN
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai pemidanaan, yang menjadi dasar hukum dan tujuan pemidanaan (Strafrecht theorie), yaitu :
1. De Vergeldings theorie (Teori Absolut/pembalasan)
2. De Relative/Dedoel theorie (Theori relatif/teori tujuan)
3. De Verenigings theorie/De gemende theorie (teorie gabungan)
Ad. 1. De Vergeldings theori (teori absolut)
Teori ini dikenal sejak abad ke-18. menurut teori ini yang dianggap sebagai dasar pidana dari pemidanaan ialah didasarkan atas alam pikiran pembalasan.
Ada beberapa perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum pidana mengenai hal ini :
a. De Ethische Vergeldings theori, pendapat dari Immanuel Kant.
Menurut Immanuel Kant, bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidak adilan, harus juga dibalas dengan ketidak adilan.
Teori ini dinamakan teori absolut, karena menurut Kant, bila seorang melakukan kejahatan, maka pidana itu merupakan tuntutan mutlak dari pemidanaan dan kesusilaan. Oleh karena itu Kant mendasarkan pada alam pikiran atas Sadelijkheid (kesusilaan) maka teorinya dinamakan De Ethische Vergeldingstheorie.
b. De Dialectische Vergeldingstheorie, pendapat dari Hegel.
Menurut Hegel, bahwa hukum atau keadilan mempunyai kenyataan, jika seseorang melakukan kejahatan, maka itu berarti bahwa ia menyangkal adanya pemidanaan atau keadilan itu. Hal ini adalah hayal. Ketidak adilan itu mempunyai sifat yang nyata dan karena itu harus diadakan, agar keadaan keadilan semuola dapat dikembalikan. Menurut Hegel ini hanya dapat dilenyapkan dengan melakukan ketidak adilan pula, yaitu dengan menjatuhkan pidana. Karena pemidanaan merupakan suatu ketidak adilan. Cara berfikir Hegel adalah dealektis, karena itu teorinya dinamakan De Dialectische Vergeldingstheorie.
c. De Aesthetische Vergeldingstheorie, pendapat dari Herbart.
Berbart menganggap bahwa bila seorang melakukan suatu kejahatan, maka kejahatan itu menimbulkan rasa tidak puas kepada masyarkat. Agar masyarakat itu diberikan kepuasan orang itu harus dijatuhi pidana karena dengan begitu kembali lagi rasa puas itu dari masyarakat. Karena Herbart mendasarkan pada Aesthetika, maka teorinya disebut De Aesthetika Vergeldingstheorie.
d. Hukum Ciptaan Tuhan, pendapat Stahl
Stahl berdasarkan atas fikiran ke Tuhanan, bahwa negara itu adalah wakil Tuhan di dunia, dan bila seseorang melakukan kejahatan, maka ia berarti melanggar ketertiban Tuhan di Masyarakat dunia. Kepada sipenjahat dijatuhkan pemidanaan agar ketertiban itu dapat dipertahankan kembali. Menurut teori ini kejahatan pembunuhan harus dibalas dengan pidana mati.

Ad.2. De Relative/ De doeltheori (teori relatif/tujuan)
Teori ini menganggap bahwa dasar pidana dari pemidanaan ialah tujuan dari pidana itu sendiri, karena pidana itu mempunyai tujuan tertentu.
Menurut teori ini sebagai dasar pidana ialah tujuan pokok, yaitu mempertahankan ketertiban masyarakat. Cara untuk mencapai tujuan dari pidana tersebut, dikenal beberapa teori :
a. Preventive Theori (Teori pencegahan)
Tujuan utama dari pemidanaan dicari dengan cara pencegahan kejahatan. Pidana itu diadakan untuk mencegah orang-orang yang melanggar ketertiban masyarakat, yakni :
1. Algemene/ Generale preventive (pencegahan umum)
Pencegahan secara umum ialah apabila pencegahan itu ditujukan kepada khalayak rama, kepada semua orang, kepada masyarakat luas.
2. Bijzondere/Speciale preventive (pencegahan kejahatan khusus).
Pencegahan kejahatan khusus, adalah agar penjahat jangan mengulangi kejahatannya. Caranya dengan jalan menakut-nakuti dengan ancaman pidana berat untuk menimbulkan kesadaran setiap orang agar tidak melakukan kejahatan.
Tetapi karena ada orang-orang tertentu yang memiliki bakat jahat, tidak akan memperdulikan ancaman pidana yang berat sekalipun. Terhadap penjahat yang demikian itu perlu diterapkan pidana berat seperti pidana seumur hidup atau pidana mati.
b. Verbetering Van de dader (memperbaiki sipenjahat)
Tujuan pidana ialah untuk memperbaiki sipenjahat , agar sipenjahat itu menjadi manusia yang baik (reclasering), caranya dengan menjatuhkan pidana dan pendidikan selama ia menjalani pidana. Ia dididik agar ia dapat menjadi manusia yang baik.
Misalnya selama ia menjalani pidana penjara diberikan pendidikan tata tertib (disiplin), keagamaan agar percaya kepada Tuhan, demikian pula pendidikan kejujuran dan keterampilan, misalnya membikin perabot rumah tangga, menjahit, dan lain-lainnya, sehingga setelah bebas, dan kembali ke masyarakat dapat mencari nafkah dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
c. Onschadelijk maken van de misdadiger (membinasakan penjahat).
Membinasakan penjahat ditujukan kepada penjahat-penjahat tertentu, yaitu yang tidak dapat diperbaiki lagi, residivis (penjahat kambuhan) yaitu setelah menjalani pidana kemudian bebas, dibekas penjahat itu tetap saja melakukan kejahatan, sehingga menimbulkan keresahan masyarakat. Terhadap penjahat tersebut harus dibinasakan dengan hukuman berat yaitu dengan pidana seumur hidup atau pidana mati.
d. Herstel van gelden maatchappelijk madell
Bahwa kejahatan itu menumbuhkan kerugian ideal dalam masyarakat, pidana itu bertujuan untuk memperbaiki tujuan dari masyarakat.
Pada masa sekarang titik berat penjatuhan pidana adalah verbatering van de dader (memperbaiki penjahat). Pemidanaan dijalankan oleh terpidana dengan mendapat pembinaan melalui berbagai pendidikan yang dilakukan oleh petugas lembaga Pemasyarakatan bekerjasama dengan instansi yang terkait, sehingga diharapkan nantinya setelah ia bebas dapat melakukan pekerjaan, dapat diterima kembali oleh masyarakat dan menjadi manusia yang baik dan tidak lagi melakukan kejahatan.

Ad.3 Vereninging/gemende theorie (teori gabungan
Teori ini mencakup kedua teori yaitu teori absolut dan teori relatif. Dasar hukum dari de vereningings theori, yaitu pembalasan dan tujuan.
Menurut teori gemende, bahwa vergeldings theori (teori pembalasan) terdapat kelemahan, yaitu :
a. dapat menimbulkan ketidak adilan ;
b. Bila dasarnya hanya pembalasan saja, mengapa negara saja berhak memberikan pidana.
Terhadap Doeltheorie (teori tujuan) terdapat kelemahan juga, yaitu :
a. Dapat menimbulkan ketidak adilan;
b. Kepuasan masyarakat diabaikan;
c. Sukar dicapai dalam praktek;
Berdasarkan teori gabungan (gemende theorie), maka pemidanaan didasarkan atas pembalasan dan tujuan pidana itu sendiri. Karena itu harus ada keseimbangan antara pembalasan dengan tujuan pemberian pidana terhadap seorang penjahat, agar tercapai keadilan dan kepuasan masyarakat.
Berdasarkan rancangan KUHP Departemen Kehakiman RI, utama pemidanaan bertujuan :
1. Mencegah dimungkinkannya tindak pidana dengan cara menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan cara yang sesuai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pasal 51 ayat (1) Rancangan KUHP)
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. (Pasal 51 ayat 2)

C. JENIS-JENIS PIDANA DAN TINDAKAN
1. Jenis-Jenis Pidana
Dalam KUHP ketentuan pidana diatur pada pasal 10 sampai pasal 41.
Jenis-jenis pidana yang telah ditentukan pada pasal 10 KUHP, pidana terdiri dari :
a. Pidana Pokok, meliputi :
1) Pidana mati ;
2) Pidana Penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda ;
5) Pidana tutupan. ( UU No. 20 Tahun 1946)
b. Pidana Tambahan, terdiri dari :
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang tertentu;
3) Pengumuman putusan hakim;
Penjatuhan pidana (Pemidanaan) oleh hakim yang merupakan pidana pokok (utama) tidak boleh lebih dari satu jenis pidana. Artinya hakim hanya boleh menentukan salah satu jenis pidana pokok yang dianggap paling cocok dengan kesalahan dari pelaku tindak pidana. Dengan demikian tidak boleh dilakukan Cumulatie pidana pokok.
Cumulatie pidana hanya dapat diterapkan oleh Hakim, dengan cara menjatuhkan satu pidana tambahan. Misalnya : Mempidana dengan pidana penjara 2 Tahun dan pidana perampasan barang-barang tertentu.
Pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati. Hal ini didasarkan pada PNPS No. 2 Tahun 1964, D.N. No. 38 Tahun 1964.
Apabila terpidana mati seorang perempuan hamil, pelaksanaan pidana matinya ditunda sampai terpidana melahirkan anaknya.
Pidana penjara terdiri dari penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara minimum (Straf minimal) selama 1 hari dan maksimal (straf maksimal) selama 15 tahun.
Apabila terdakwa diancam dengan pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berat, hakim dapat memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun penjara (straf maksimal). Ketentuan ini diatur dalam pasal 12 KUHP.
Terpidana yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29 KUHP. Ketentuan ini diatur pada pasal 14 KUHP.
Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan atau pengulangan karena ketentuan pasal 52 KUHP ; pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan (pasal 18 KUHP).
Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana kurungan harus lebih ringan, daripada orang yang dijatuhi pidana penjara.
Orang yang menjalani pidana kurungan dengan biaya sendiri diperbolehkan sekedar meringankan nasibnya. Kepadanya diberikan hak Pistole (menggunakan uang sendiri untuk keperluannya dalam batas-batas yang wajar). (pasal 23 KUHP).
Orang yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup, nara pidana wanita, dan orang yang kesehatannya kurang baik, tidak boleh dipekerjakan di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan (Pasal 25 KUHP).
Terhadap pemidanaan denda, hakim dapat menetapkan pidana pengganti denda dengan pidana kurungan, apabila sampai waktu pembayaran denda, pidana denda tersebut tidak dibayar. Pidana kurungan pengganti denda minimum satu hari, dan maksimum enam bulan.
Dalam hal terpidana karena gabungan tindak pidana atau pengulangan pidana, pengganti denda dengan pidana kurungan paling lama 8 bulan, (Pasal 30 KUHP)
Apabila terpidana melarikan diri, maka waktu selama diluar tempat menajalani pidana tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana (pasal 34 KUHP).
Hak-hak terpidana sebagai pidana tambahan berdasarkan pasal 35 KUHP, dapat dicabut dengan putusan hakim, yaitu :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatanan tertentu.
2. Hak memasuki angkatan bersenjata
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan Pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian dan pengampu atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
Lamanya pencabutan atas hak-hak terpidana berdasarkan ketentuan pasal 38 KUHP, sebagai berikut :
1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup.
2. Dalam pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan atau telah mempunyai kekuatan tetap.
Barang-barang yang dapat dirampas sebagai pidana tambahan, berdasarkan pasal 39 KUHP adalah sebagai berikut :
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Semua biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dibebankan kepada negara. Semua pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara. (Pasal 42 KUHP). Barang-barang yang dirampas dapat dijadikan milik negara atau dimusnahkan karena membahayakan dan tidak bernilai ekonomis (Pasal 43 KUHP).
Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka hakim harus menetapkan cara-cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana, misalnya melalui media cetak atau elektronika dengan biaya terpidana.
2. Pidana dan Tindakan
Pidana diadakan agar ketentraman terjamin, agar setiap orang menghormati kepentingan orang lain. Pidana itu seolah-olah dikehendaki oleh setiap orang dalam rangka mempertahankan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Disamping pidana atau hukuman (Straf) dalam hukum pidana, dikenal pula suatu tindakan (matregel), yang juga untuk menjamin agar setiap ketentuan yang berlaku ditaati oleh setiap orang.
Sebagai contoh, yang merupakan tindakan (matregel) seorang yang belum dewasa (berumur kurang dari 16 tahun), jika melakukan kejahatan tidak perlu dijatuhi pidana, tetapi dapat diambil tindakan, yaitu diserahkan kepada pemerintah dengan tujuan bahwa pemerintah akan mendidik anak tersebut (pasal 45 KUHP). Maksud dari pendidikan yang diberikan kepada anak yang masih belum dewasa itu bukanlah mengekang kemerdekaannya, akan tetapi dengan maksud untuk memperbaikinya.
Sebagai bahan perbandingan KUHP yang berlaku sekarang dengan Rancangan KUHP Nasional, mengenai jenis-jenis pidana dan tindakan adalah sebagai berikut :
(1) Pidana Pokok adalah :
1. Pidana penjara.
2. Pidanda tutupan
3. pidana pengawasan
4. pidana denda
5. pidana kerja sosial
(2) Urutan pidana pokok di atas menentukan berat ringannya pidana.
Pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus, (Pasal 58)
(3) Pidana tambahan (Pasal 59) adalah :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan
3. Pengumuman putusan hakim
4. Pembayaran ganti kerugian
5. Pemenuhan kewajiban adat.
Mengenai tindakan maatregel), jenis-jenisnya dirinci pada pasal 89 rancangan KUHP, sebagai berikut :
(1) Hakim dalam pelaksanaannya dapat menjatuhkan tindakan berupa :
1. Perawatan di rumah sakit jiwa;
2. Penyerahan kepada pemerintah
3. Penyerahan kepada seseorang
(2) Hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan tindak bersama-sama dengan pidana pokok berupa :
1. Pencabutan surat izin mengemudi ;
2. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
3. Perbaikan akibat-akibat tindak pidana;
4. Latihan kerja
5. Rehabilitasi
6. Perawatan di dalam suatu lembaga;

D. PEDOMAN PEMIDANAAN
Berdasarkan ketentuan pasal 12 KUHP, pemidanaan yang dapat diberikan oleh hakim kepada terdakwa, untuk pidana penjara paling sedikit 1 hari dan paling lama 15 tahun. Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh melebih 20 tahun.
Untuk pemidanaan terhadap kejahatan tertentu, misalnya pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), hakim dapat menjatuhkan pidana mati atau pidana 20 tahun penjara.
Hakim dapat pula dalam kasus-kasus tertentu menjatuhkan pidana bersyarat dengan masa percobaan (Pasal 14 a KUHP) seperti pelanggaran mengganggu ketertiban umum, mengancam keaman orang lain (pasal 492 KUHP). Pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 504, 505, 506 dan 536 KUHP (Pengemisan, gelandangan, menarik keuntungan dari perbuatan cabul, dalam keadaan mabuk di jalan umum).
Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh Hakim paling sedikit 1 hari, dan paling lama 1 tahun. Bila terjadi gabungan atau pengulangan tindak pidana, pidana kurungan dapat ditambah menjadi 1 tahun 4 bulan (Pasal 18 KUHP). Apabila Hakim memberikan pidana denda dapat sekaligus menetapkan pidana pengganti denda dengan pidana kurungan, apabila denda tidak dibayar oleh terpidana.
Hal-hal lain yang memberatkan dan meringankan tersangka atas dasar pemeriksaan di dalam persidangan pengadilan. Pedoman pemidanaan ini dapat pula kita temukan dalam Rancangan KUHP, pada pasal 52 ayat (1) :
dalam pemidanaan Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kesalahan pembuat ;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana ;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin sipembuat;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana;
dari penjelasan pasal 52 Rancangan KUHP, intinya untuk memudahkan Hakim dalam menerapkan takaran pemidanaan. Pertimbangan tersebut tidak bersifat limitatif, tetapi masih dapat menambahkan pertimbangan lain.
Apabila terhadap tindak pidana dilakukan dengan berencana harus diperhatikan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan unsur-unsur :
1. Kesalahan pembuat ;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana; dan
4. sikap batin sipembuat;
Terhadap orang yang berulang kali dijatuhi pidana denda, untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 tahun atau menjatuhkan pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda.
BAB VI
PENAFSIRAN HUKUM PIDANA

A. PENGERTIAN
Pembentuk undang-undang (wetgever), ketika merumuskan berbagai bentuk kejahatan, telah berusaha memilih kata-kata yang setegas-tegasnya, tetapi dalam kenyataannya dan dalam praktek, yaitu doktrin, dalam yurisprodensi , mengenai kata-kata yang dipakai dlam perumusan delik, timbul beberapa perbedaan pendapat, karena itu penafsiran itu sangat berguna dan menjadi hal yang penting.
KUHP sendiri dalam hal penafsiran ini tidak menentukan bagaimana undang-undang itu harus ditafsirkan, sehingga apabila undang-undang tidak memberikan keterangan/penjelasan tentang sesuatu hal maka kita harus mencari bahan-bahan itu dalam doktrin, atau dari keputusan hakim/yurisprodensi. Jadi jika tidak diketemukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin), maka diusahakan mencarinya dalam yurisprodensi. Bilamana undang-undang memberikan penafsiran, yang disebut dengan “ Autentie Interpretatie”, maka penafsiran yang lainnya tidak berlaku.
Hal ini dapat kita temukan pada Bab IX, dari pasal 86 sampai pasal 101 bis KUHP.
Sebagai contoh pentingnya soal Interpretatie, kita lihat ketentuan pasal 285 KUHP.
“ Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Dari ketentuan pasal tersebut diatas, kita temukan istilah perkosaan. Istilah ini tidak ada penafsiran secara resmi dalam KUHP, karena itu yang dimaksud dengan perkosaan tersbut harus dicari dalam doktrin atau yurisprodensi atau menggunakan berbagai penafsiran yang berlaku dalam hukum pidana.

B. JENIS-JENIS PENAFSIRAN
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal beberapa penafsiran (interpretasi) hukum
1. Penafsiran otentik (Autentike Interpretatie)
Penafsiran otentik/resmi, ialah penafsiran yang diberikan sendiri oleh undang-undang. Penafsiran yang lain tidak boleh digunakan.
a. Sebagai contoh, didalam pasal 104 KUHP ada istilah penyerangan/aanslag/ makar. Istilah ini secara resmi telah dirumuskan pada pasal 87 KUHP.
“dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 33 KUHP.
Istilah samensparing (berkomplot), ditafsirkan secara resmi dalam pasal 88 KUHP, dikatakan berkomplot, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.
b. Istilah semensparing (berkomplot), ditafsirkan secara resmi dalam pasal 88 KUHP, dikatakan berkomplot, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.
c. Istilah malam hari (bijnacht) kita temukan dalam pasal 363 KUHP. Penafsiran didapatkan secara resmi pada pasal 98 KUHP.
“ Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak.
Yang disebut malam hari (bijnacht) atau waktu malam (pasal 98 KUHP), yaitu waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
2. Penafsiran menurut tata bahasa ( gramatical taalkumde Interpretatie).
Penafsiran menurut tata bahasa ialah penafsiran dengan cara mencari arti kata-kata dari suatu ketentuan undang-undang menurut tata bahasa.
3. Penafsiran sistematis (systematiche interpretatie)
Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran maksud dari pada undang-undang dengan menghubungkan bagian dari undang-undang, yaitu menghubungkan bagian dari undang-undang yang satu dengan yang lain dari undang-undang itu.
4. Penafsiran Logis (Logische interpretatie)
Penafsiran logis ialahsuatu penafsiran yang menyandarkan penafsiran pada pikiran sehat, yaitu mencari maksud peraturan yang menghubugkan undang-undang tersebut dengan undang-undang yang lain.
5. Penafsiran Sejarah (Historische interpretatie)
Penafsiran historis ini, yaitu penafsiran yang didasarkan atas riwayat dari pembentukan undang-undang.
Penafsiran dair sudut sejarah terdiri dari :
a. Rechtshistorische interpretatie, yaitu penafsiran dengan cara mempelajari riwayat dari perkembangan/pertumbuhan dari yang diatur dalam undang-undang itu.
b. Wetshistorische interpretatie, yaitu penafsiran dengan cara mempelajari riwayat pembentukan undang-undang, ketika undang-undang itu dibentuk, bagaimanakah perkembangannya agar maksud wetgever (pembentuk undang-undang) itu diketahui.
6. Penafsiran Analogis (Analogische interpretatie)
Penafsiran analogis, yaitu suatu penafsiran yang disandarkan atas alam pikiran secara analogi, yaitu bila undang-undang itu kita kenal dalam hal lain yang sejenis, dalam arti bahwa sifat hal itu adalah sama dengan sifat hal yang diatur oleh undang-undang itu, maka peraturan yang tegas itu diperlakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur dengan tegas.
7. Penafsiran Teologis (Teologische, interpretatie)
Penafsiran teologis, yaitu penafsiran yang disandarkan atas maksud dari pembentuk undang-undang itu. karena itu kita harus menyelidiki ketika pembentukan undang-undang tersebut, apakah maksud pembentuk undang-undang tersebut, apakah maksud pembentuk undang-undang untuk mengadakan undang-undang tersebut.

8. Penafsiran ekstensif (extencive interpretatie)
Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran secara memperluas peraturan yang termaktub dalam suatu undang-undang. Berarti penafsiran suatu peraturan perundang-undangan secara luas.
9. Penafsiran Restrictif (Restrictieve Interpretatie)
Penafsiran restrictif, yaitu suatu penafsiran undang-undang dengan cara mempersempit arti peraturan-peraturan yang terdapat dalam undang-undang.
10. Penafsiran secara tegas (redemering Acontracio)
Penafsiran redering acontracio, ialah penafsiran undang-undang yang pada hakekatnya sama dengan penafsiran terstrictive. Apabila dalam peraturan undang-undang itu diatur suatu hal, peraturan itu hanya berlaku bagi hal yang diatur secara tegas, tidak dapat diperlakukan terhadap hal-hal yang lain.
Cara-cara penafsiran tersebut diatas, tidak saja berlaku bagi hukum pidana, tetapi berlaku juga terhadap hukum-hukum lainnya, seperti hukum perdata, hukum tata negara dan lain-lain. Penafsiran secara analogis saja yang tidak boleh diperlakukan terhadap hukum pidana, karena hal ini merupakan salah satu azas bagi berlakunya hukum pidana bahwa ketentuan hukum pidana tidak boleh ditafsirkan secara analogis.

C. BEBERAPA YURISPRUDENSI
Dbawah ini dikutip beberapa Yurisprudensi yang berkaitan dengan penafsiran dalam hukum pidana.
Antara lain mengenai pengertian benda (goed), pengertian mengambil (wegnemen), unsur memiliki dari penggelapan, dan pengertian kwitansi dan surat palsu.
1. Arrest Hegeraad tangal 23 Mei 1921 memperluas arti goed (benda) goed (benda) tidak hanya ditafsirkan sebagai Staffelijk goed (benda berwujud), akan tetapi juga sebagai benda yang tidak berwujud atau sebagai barang yang tidak berwujud.
Dengan dirumuskan “goed” juga sebagai barang yang tidak berwujud, maka pencurian aliran listrik, uap maupun gas diakui oleh Hooge Raad. Hal ini dapat dimengerti, karena pada saat wetboek van strafrecht dibentuk, belum ada aliran listrik.
2. Dalam praktek pengertian mengambil (Wegnemen) diperluas. Dahulu pengertian wegnemen yang dimaksud oleh WVS adalah membawa sesuatu benda dibawah kekuasaan yang mutlak dan nyata, tetapi pengertian wegnemen (mengambil) telah diperluas.
Membawa kendaraan bermotor/mobil tanpa izin pemiliknya dikatakan mencuri bensin.
B menjual sapi kepada C, sapi tersebut milik A. Kemudian B ditangkap polisi dan diadili. Hakim menghukum B karena mencuri Sapi A.
3. Penggelapan
Unsur memiliki dalam pasal 372 KUHP, berarti menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat hak yang dimiliki atas benda itu. Putusan Hamkamah Agung RI tanggal 11 – 8 – 1959 nomor. 69/Kr/1959.
4. Tindak pidana ekonomi
Dinyatakan kwitansi tidak bisa disamakan dengan faktur. Kwitansi membuktikan pembayaran sejumlah uang, sedangkan faktur membuktikan pengiriman barang.
Putusan Mahkamah Agung RI, tanggal 13 – 11- 1962, Nomor. 47/K/Kr/1962.
5. Surat Palsu
Yang dimaksudkan dengan “ menyuruh membuat palsu” dalam pasal 263 KUHP, ialah menyuruh membuat surat yang isinya bertentangan dengan kebenaran.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 -4-1964, Nomor. 134/1963.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

kumpulan kapsel pidana

I. KAPSEL HK. PIDANA a. Hukum Pidana (materiel/formil) harus terus di reform 1. Latar Belakang: b. Luasnya cakupan keilmuan hukum pidana c. Perkembangan kejahatan baru yang bersifat global d. Perlunya pemahaman tentang kebijakan hukum pidana 2. Pengertian 3. Tujuan: a. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perkembangan hukum pidana dalam paradigma yang luas dan mendalam b. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi dalam menganalisis dan sekaligus dapat memberikan enovasi baru bagi keilmuan hukum pidana itu sendiri c. Menciptakan mahasiswa yang siap dalam menghadapi globalisasi dan reformasi hukum, baik secara regional, nasional maupun internasional. 4. Ruang Lingkup: a. Dasar-dasar Kebijakan Kriminalisasi & Dekriminalisasi b. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) c. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) d. Kompilasi Kejahatan Baru (WCC, THC, CC dsbnya) e. Rancangan KUHP Baru. KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI I. KRIMINALISASI: a. Pengertian: “Suatu Proses Memformulasikan delik-delik baru kedalam suatu bentuk aturan hukum pidana” Merupakan suatu kebijakan sosial (social policy) yang penting untuk dilakukan dalam rangka penanggulangan kejahatan. b. Tujuan: Agar terjadi penjangkauan hukum (pidana) terhadap perbuatan yang selama ini belum atau kurang terjangkau hukum pidana itu sendiri, yang pada akhirnya akan memberikan ketertiban dan keadilan (law and order) pada masyarakat, dan hasil (result) akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan pada masyarakat (social welfare). Merumuskan delik baru (baik dalam KUHP maupun di luar KUHP). c. Bentuk: Merumuskan delik dari luar KUHP ke dalam KUHP. Mereformasi/merubah delik yg sudah ada (Baik unsur2, sifat maupun sanksinya). II. DEKRIMINALISASI: a. Pengertian: Suatu Proses penghapusan/peniadaan deli-delik yang sedang berlaku dalam suatu aturan hukum pidana. Didasarkan pada konsep awal “Hukum itu harus terus direform” b. Tujuan: Agar terdapat perubahan/penyesuaian terhadap aturan hukum pidana sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana atau ilmu-ilmu bantu lainnya. Aturan itu sudah tidak dapat dijalankan lagi/bukan merupakan delik lagi; c. Ukuran/Kriteria: Aturan itu bertentangan dengan kedudukan/sistem kenegaraan; Aturan itu tidak mempunyai arti lagi. KEBIJAKAN KRIMINAL (CRIMINAL POLICY) I. Pengertian: Keseluruah asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana (arti sempit) A. SUDARTO: Keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, hakimdan LP) trmasuk di dalamnya cara kerja dari sistem tersebut. (arti luas) Keseluruahn kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat (dikutip dari Jorgen Jepsen dan merupakan pengertian paling luas). “Suatu usaha yang rational dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. B. MARC ANCEL “The Criminal Policy ia the rational organization of control of crimes by society” ( Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan kejahatan) C. PETER HOEFNAGELS “The criminal policy is the rational organization of the social reaction to crimes” (suatu usaha yang rational atas reaksi masyarakat terhadap kejahatan). II. Hubungannya dengan Politik Sosial: Kebijakan kriminal / upaya penanggulangan kejahatan yg pada hakekatnya merupakan bagian dari Social Defence (perlindungan masyarakat) dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). III. Tujuan Akhir: “ Memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. “ Upaya Penal (Menggunakan hukum pidana) IV. Cara/metode: Upaya Non Penal (tanpa menggunakan hukum pidana) Skema Kebijakan kriminal PENAL NON PENAL Sumber: Pelatihan Kriminologi dan Hukum Pidana Ke- 34 Oleh UNAFEI di Tokyo, Tahun 1973. TINDAK PIDANA TERORIS 1. Pengertian Suatu Perbuatan yang menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas baik secara fisik maupun secara psikis dengan tujuan terjadinya kekacauan keamanan negara dan atau masyarakat. 2. Dasar Hukum : UU No. 15 Th. 2003 Tentang TP. Terorisme Terorisme Langsung (Ps.9 s/d Ps.16) Menimbulkan suasana terror 3. Jenis TP.Terorisme: Membahayakan keselamatan penerbangan yang berkaitan dg senjata api, bahan peledak, amunisi, senjata biologis. Penyedianaan &Pengumpulan Dana serta harta kekayaan untuk teroris Merencenakan / menggerakkan orang lain, Pemufakatan jahat, percobaan atau perbantuan, kemudahan, sarana ataupun keterangan. Perbuatan lain yg terkait (Ps.20s/d24) Mengancam, mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, hakim atau penasehat hukum. Kesaksian palsu, bukti palsu, mempengaruhi saksi, penyerangan saksi dan petugas hukum. Membocorkan identitas pelapor. 4. Subjek hukumnya: Setiap orang dan badan hukum. 5. Alat Bukti: – sebagaimana yang diatur dalam KUHAP +Informasi lisan, data, rekaman, foto baik secara elektronik maupun secara optik. 6. Beberapa ketentuan khusus: Penangkapan 7 hari, penahanan 6 bulan, Pemblokiran pada bank, laporan intelijen dapat digunakan sebagai bukti permulaan, Identitas pelapor dirahasiakan, sidang inabsentia terhadap terdakwa yang meninggal dunia dpt diteruskan. Analisis Kejahatan Taslim Moe Jenis Kejahatan: Kejahatan Perekonomian (economic crime) Modus Operandi: Penghimpunan uang masyarakat melalui korporasi tanpa izin dari Bank Indonesia atau menggelapkan uang masyarakat dan atau Menipu dgn cara bujuk rayu. Kesalahan (schuld): * Dengan sengaja • Penghimpunan dana masyarakat tanpa izin • Penipuan dan atau penggelapan dgn janji-janji / bujuk rayu Ketentuan Pidana : Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998 tentang Perbankan “Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 16 diancam dgn pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya 10 milyar rupiah dan paling banyak 200 milyar rupiah” Pasal 372 dan 374 KUHP tentang Penggelapan dan 378 KUHP tentang penipuan Analisis Semua unsur ketentuan pidana terpenuhi baik UU perbankan maupun 372, 374 dan 378 KUHP Namun kendala yang dihadapi UU Perbankan adalah asas Nebis in Idem, karena objek perbuatannya hanya penghipunan dana masyarakat tanpa izin, kelebihannya adalah hukuman tinggi dan denda besar. Jika yg dipakai 372, 374 dan 378 KUHP hukumannya kecil dan denda sedikit, tetapi dapat lepas dari asas nebis in idem (hukuman bias dicicil). Way Out : Buat dakwaan berlapis, yaitu dakwaan primer Ps. 46 (1) UU No.10/1998 dan dakwaan subsider Ps. 372, 374 KUHP serta pasal 378 KUHP. Jika yang dikabulkan dakwaan subsider, maka setelah selesai menjalani hukuman, lanjutkan kembali dengan dakwaan subsider serupa dgn objek perbuatan yg berbeda. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundring) 1. Pengertian Suatu usaha atau perbuatan melanggar hukum atas suatu harta kekayaan yang diketahuinya /patut diketahuinya merupakan hasil dari suatu kejahatan dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang. 2. Cara-cara Menempatkan/mentransfer pada penyedia jasa keuangan Membayar / membelanjakan Menghibahkan/menyumbangkan Menitipkan Membawa keluar negeri Menukarkan dengan Valuta asing Menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta 3. Asal-usul harta Korupsi, penyuapan, penyelundupan barang / tenaga kerja /- Imigran, perbankan, narkotika / psikotropika, perdagangan budak / wanita dan anak / senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan dan penipuan. 4. Subjek hukum Setiap orang / korporasi, baik yang melakukan maupun yang menerima. 5. Pemidanaan Dilakukan secara komulatif antara penjara dan denda. 6. Sistem pelaporan Dilaporkan pada Pusat Pelaporan dan analisis transaksi Keuangan (PPATK) berkedudukan di Ibukota Negara dan atau didaerah. Pelapor atau saksi termasuk harta dan keluarganya dilindungi. Pelaporan dari penyedia jasa paling lambat 14 hari setelah mengetahui/mencurigai asal-usul harta. 7. Dasar Hukum/Pengaturan : UU No. 15/2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian uang dan UU No. 25/2003 Tentang Perubahan UU No.15 Tahun 2002. WHITE COLLAR CRIME’S 1. Pengertian: Kejahatan yg pelakunya orang yang memiliki status social tinggi dan terhormat Dalam pekerjaannya. 2. Pencetus Edwin H. Sutherland (1939) di USA dalam buku “Principles of Criminology” 3. Penyebab Extern Mobilitas social (penyebaran masyarakat) Kompleksitas masyarakat (alat kredit) Kemakmuran (penggelapan pajak) Kemajuan teknologi (computer/internet) Pengaturan masyarakat (Birokrasi) Intern Penyamaran sifat kejahatan (seolah-olah kebaikan) Penyembunyian bentuk kejahatan (dihilangkan) Kebodohan masyarakat (pemanfaatan) 4. Upaya antisipasi Penal Integrated Criminal Justice System Non Penal Prevention Without Punisment Social Opinion Building Influencing vieuw of Society KEJAHATAN COMPUTER / INTERNET 1. Latar Belakang Computer/internet sebgai kebutuhan penting manusia dalam hubungannya dengan aktivitas kerja dunia modern Memberikan kesempatan cukup tinggi untuk disalahgunakan 2. Istilah Computer mistakes / Computer Crime’s / a buse of Computer or internet 3. Faktor Penyebab Mudah dilakukan Tidak menggunakan tenaga besar / individualistic Pengaturan belum tegas dalam UU Sangat dibutuhkan manusia modern 4. Kendala Penegakan Hukum Belum tegas pengaturannya Penafsiran hukum pidana yang terlalu berhati-hati Yurisdiksi hukum pidana yang terbatas Ketidaksiapan system peradilan pidana Hubungan Internasional yang global 5. Upaya Kriminalisasi a buse of computer / internet Pendekatan penafsiran yang tepat Pengenaan pidana secara subsider Pelatihan terhadap SPP Membangun hubungan Internasional yang baik KEJAHATAN ITE 1. Pengertian : Suatu bentuk kejahatan yang dilakukan dengan menyalahgunakan ITE demi kepentingan dan tujuan tertentu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. 2. Pengaturan : UU Nomor 11 Tahun 2008 tanggal 25 Maret 2008 3. Bentuk Kejahatan : a. Mendistribusikan/Mentransmisikan dokumen elektronik yg bermuatan: 1. Melanggar Kesusilaan 2. Perjudian 3. Penghinaan / pencemaran nama baik 4. Pemerasan / pengancaman b. Menyebarkan berita bohong terhadap konsumen c. Menyebarkan rasa kebencian/permusuhan yang bersifat SARA d. Mengrimkan ancaman kekerasan/menakuti secara pribadi e. Mengakses computer orang lain tanpa hak f. mengintersepsi data elektronik computer orang lain g. Mengubah, menambah, mengurangi, merusak, menghilangkan data orang lain/public h. Mengganggu system elektronik i. Memproduksi, mengimpor/menyediakan hardware/software, sandi, kode akses yg berkaitan dng Ps. 27 sampai Ps. 33 j. Manipulasi penciptaan ITE 4. Ruang lingkup : Baik dalam Indonesia Maupun di luar negeri 5. Penyelesaian : Perdata maupun pidana 6. Ketentuan Pidana : a. Penjara Maksimal 12 Tahun (dapat ditambah 1/3 dalam hal tertentu) b. Denda maksimal 12 Milyar rupiah

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

CAPSEL PIDANA

DISKRESI KEPOLISIAN

1. Pengertian
Suatu asas yang memberikan kekuasaan kepada seorang polisi untuk bertindak sesuai dengan kewenangannya tanpa menunggu perintah atasan.

2. Latar Belakang
a. Sifat individualistik polisi
b. Kekuasaan penuh (power full) dalam bertindak
c. Bahaya tinggi dalam tugas
d. Tuntutan penyelesaian kasus (clearence rate)
e. Tuntutan masyarakat atas profesionalisme polisi

3. Kendala yg dihadapi
a. Persepsi yang berbeda-beda tentang persepsi
b. Pengawasan yang bersifat intern
c. Tingginya angka penyelesaian kasus
d. Kesadaran hukum masyarakat rendah
e. Sistem pendidikan polisi yang belum memadai

4. Upaya Yang Dilakukan
a. Menyamakan persepsi dengan merubah sistem pemolisian
b. Melakukan sistem pengawasan yang berimbang
c. Penyelesaian kasus yang berimbang antara kuantitas dengan kualitas
d. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dengan sosialisi dan pendekatan persuasif
e. Memperbaiki kurikulum dan lama pendidikan serta penyesuaian habitat.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Kuliah Penitentier (bag.2)

KEBIJAKAN KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI

I. KRIMINALISASI:

a. Pengertian: “Suatu Proses Memformulasikan delik-delik baru kedalam suatu bentuk aturan hukum pidana”

Merupakan suatu kebijakan sosial (social policy) yang penting untuk dilakukan
dalam rangka penanggulangan kejahatan.

b. Tujuan: Agar terjadi penjangkauan hukum (pidana) terhadap perbuatan yang selama ini belum atau kurang terjangkau hukum pidana itu sendiri, yang pada akhirnya akan memberikan ketertiban dan keadilan (law and order) pada masyarakat, dan hasil (result) akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan pada masyarakat (social welfare).

Merumuskan delik baru (baik dalam KUHP maupun di luar KUHP).
c. Bentuk: Merumuskan delik dari luar KUHP ke dalam KUHP.
Mereformasi/merubah delik yg sudah ada (Baik unsur2, sifat maupun sanksinya).

II. DEKRIMINALISASI:

a. Pengertian: Suatu Proses penghapusan/peniadaan deli-delik yang sedang berlaku dalam suatu aturan hukum pidana.
Didasarkan pada konsep awal “Hukum itu harus terus direform”

b. Tujuan: Agar terdapat perubahan/penyesuaian terhadap aturan hukum pidana sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana atau ilmu-ilmu bantu lainnya.

Aturan itu sudah tidak dapat dijalankan lagi/bukan merupakan delik lagi;
c. Ukuran/Kriteria: Aturan itu bertentangan dengan kedudukan/sistem kenegaraan;
Aturan itu tidak mempunyai arti lagi.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

hukum penitentier

I. KAPSEL HK. PIDANA

a. Hukum Pidana (materiel/formil) harus terus di reform
1. Latar Belakang: b. Luasnya cakupan keilmuan hukum pidana

c. Perkembangan kejahatan baru yang bersifat global

d. Perlunya pemahaman tentang kebijakan hukum pidana

2. Pengertian

3. Tujuan: a. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perkembangan hukum pidana dalam
paradigma yang luas dan mendalam
b. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi dalam menganalisis dan sekaligus dapat memberikan enovasi baru bagi keilmuan hukum pidana itu sendiri
c. Menciptakan mahasiswa yang siap dalam menghadapi globalisasi dan reformasi hukum, baik secara regional, nasional maupun internasional.

4. Ruang Lingkup: a. Dasar-dasar Kebijakan Kriminalisasi & Dekriminalisasi
b. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
c. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
d. Kompilasi Kejahatan Baru (WCC, THC, CC dsbnya)
e. Rancangan KUHP Baru.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

KULIAH HUKUM PIDANA (S.SAHABUDDIN,SH.MH. CD)

BAHAN KULIAH: HUKUM PIDANA

LITERATUR POKOK :
•Drs. P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung
•Prof. Muljatno, SH “Asas-Asas Hukum Pidana”
•Dr. Andi Hamzah, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
– Drs. Adam Chazami SH, “Pelajaran Hukum Pidana 1”
•Drs. Adam Chazami, “Pelajaran Hukum Pidana 2”.
• Prof. Dr.Wirjono. P, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
•D. Scaffmester, dkk “ Hukum Pidana”
•Prof. Dr. Barda Nawawi, SH “Kapita Silekta Hukum Pidana”
•R. Soenarto Soeridobroto, “ KUHP dan KUHAP beserta Yurisprudensi MA”
•R. Soesilo, “KUHP dan penjelasannya”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian
Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).
Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law.
Adapun pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai berikut :
1. SIMONS, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan keharusan yang pelanggaran terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa (pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan tentang syarat, cara menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.
2. MOELJATNO, hukum pidana adalah aturan yang menentukan : a) Perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang melanggarnya, b) Kapan dan dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana, c) Cara pengenaan pidana kepada pelanggar tesebut dilaksanakan
3. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
4. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
5. WLG. LEMAIRE, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini nampaknya dalam arti hukum pidana materil).
6. WFC. HATTUM, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
7. WPJ. POMPE, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
8. KANSIL, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
9. ADAMI CHAZAWI, dilihat dari garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
• Aturan-aturan hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan denagan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif) maupun pasif/negatif) tertentu yang diserti dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
• Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkanya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
• Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan di dakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Berpijak dalam garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidan, hukum pidana merupakan bagi dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/posiitif) maupun pasf/negatif) tertentu yang disertai denagan ancaman sanksi pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut
B. Tujuan Hukum Pidana
Ada dua macam :
1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif)
2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi represif).
Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.
Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah :
1. Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO PRODJODIKORO)
2. Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA)
3. Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara ( (KANTER DAN SIANTURI)
4. Menyelesaikan konflik (BARDA .N)
Tujuan Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) :
1. Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Namun ini tidak menjamin karena masih banyak juga residivis.
2. Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman masyarakat
3. Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan
4. Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
C. Fungsi Hukum Pidana
Sebagai hukum publik hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memperkosanya.
Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.
Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum (rechtsgut) itu meliputi (Satochid Kartanegara) :
1. Hak-hak (rechten)
2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking)
3. Keadaan hukum (rechtstoestand)
4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dsb.
2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb.
3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.
Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri (pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363 melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum 5 tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman penjara maksimum 15 tahun, dsb.
1. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud disini adalah adalah tiada lain memberi dasar legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaik-baiknya. Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap terjadinya tindak pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan, vonis, dll. Semua tindakan negara diatas tentu berakibat tidak menyenangkan bagi siapa saja. Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara tindakan negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas.
1. Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi. Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam setiap melakukan tindakan hukum. Misalnya jika seseorang membunuh (pasal 338 KUHP) negara tidak boleh menghukum melebihi ancaman maksimum 15 tahun. Begitu juga ketika negara menahan seseorang ada batas masa penahanan misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika ketentuan diatas dilanggar oleh negara maka akan terjadi kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri dirugikan. Jika akibat suatu tindakan negara justru merugikan masyarakat, maka tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut tidak tercapai. Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan saja.
D. Sumber Hukum Pidana
1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = MVT yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran
2. Undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana
• Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
• Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 tahun 2003)
• Undang-undang Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 tahun 2002)
• Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)
• Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
3. Hukum Adat (Pasal 5 ayat 3 (b) UU Darurat No. 1 tahun 1951 yaitu berbunyi :
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orangorang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
• bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,
• bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
• bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”.
E. Aliran-aliran dalam Hukum Pidana
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik (sosiologis). Perbedaaan aliran klasik, modern dan neo klasik atas karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman pertumbuhan aliran-aliran tersebut.
1. Aliran klasik
Aliran yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Definisi hukum dari kejahatan
2. Pidana harus sesuai dengan kejahatannya
3. Doktrin kebebasan berkehendak
4. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana
5. Tidak ada riset empiris; dan
6. Pidana yang ditentukan secara pasti.
Tokoh dalam aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah kebahagiaan yang terbesar untuk orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat suatu prinsip baru yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan.
1. Aliran Modern atau aliran positif
Aliran ini muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang.
Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut :
1. Menolak definisi hukum dari kejahatan
2. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana
3. Doktrin determinisme
4. Penghapusan pidana mati
5. Riset empiris; dan
6. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.
Marc Ancel mempelopori gerakan perlindungan masyarakat baru (new social defence) yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (the indeterminate sentence), pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras, penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (natural crime) yang merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Ferri menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilamana ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana ataupun hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang, oleh karena itu pembuat undang-undang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat.
1. Aliran neo klasik (sosiologis)
Aliran ini muncul pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
1. Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain;
2. Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan;
3. Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan;
4. Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.
Determinisme dan Indeterminisme
• Dualisme istilah ini berkisar pada pesoalan, apakah seorang manusia pada hakikatnya adalah bebas dari pengaruh (indeterminisme) atau justru selalu terpengaruh oleh kekuatan dari luar (determinisme)
• Kata “determiner” dalam bahasa Prancis bahkan berarti “menentukan”
• Determinisme adalah bahwa kekuatan menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat atau watak dari seorang dan alasan yg mendorong orang itu untuk pada akhirnya mempunyai kehendak tertentu itu, dan kekuatan2 ini didorong pula oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup. Jadi kehendak melakukan perbuatan pidana menurut determinisme dikarenakan kehendak itu selalu ditentukan oleh kekuatan itu.
• Sedangkan indeterminisme seseorang melakukan suatu kejahatan, menurut faham indeterminisme dianggap mempunyai kehendak untuk itu, mungkin tanpa dipengaruhi kekuatan2 luar tersebut diatas.
E. Sejarah Hukum Pidana Indonesia
De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940
Maka, pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan India/Pakiskan).
Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa, berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad 1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873.
Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon pada permulaan abad 19.
Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886 suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman.
Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua penduduk di Indonesia.
Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian untuk seleuruh Indonesia.
KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh “invoeringsverordening” berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru.
Tidak kurang dari 277 undang-undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana, ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau diubah.
Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undnag-Undang Dasar ini”.
Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik Indonesia., disebutkan :
“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2.
Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :
• Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.
• Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Isi peraturan ini hampir sama dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan yang dulu itu dianggap tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD.
Ketentuan yang terakhir ini sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan “kolonial”.
Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari 1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak berlaku lagi
Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945 Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945 tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26 Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum pidana.
Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het Militair Gezag).
Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda.
Selanjutnya oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :
• Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan “Nederlandsch-Indie” atau “Nederlandch-Indich (e) (en)”2, maka perkataan-perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau Indonesisch (e) (en)” 2.
• Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.
• Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.
• Pasal VI :
(1) Nama undang-undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch-Indie” diubah menjadi “Wetboek van Strarecht”.
(2) Undang-undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
• Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III, maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan” dalam Kitab Undnag-undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.
• Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.
• Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV mengenai penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia.
Pada akhirnya ditetapkan bahwa undnag-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk daerah lain pada hari yang akan diteapkan oleh presiden.
Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus 1946.
Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal, sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada dua KUHP.
Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui Undang-undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Dengan demikian pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya.
F. Pembagian Hukum Pidana
1. Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidna objektif memili arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunbg larangan dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
1. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
2. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta
3. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental yakni :
1. Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
2. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
3. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak maka negara akan melakukan kesewenangan-wenangan sehingga menimbulkan ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara. Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Misalnya dalam hukum pidana materil pasal 362 KUHP tentang larangan perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud memiliki benda itu secara melawan hukum (disebut pencurian) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimum Rp. 900.000. Terhadap si pelanggar larangan ini, hak negara dibatasi tidak boleh menjatuhkan pidana :
1. Selain pidana penjara dan denda
2. Jika penjara tidak boleh melebihi 5 tahun, dan jika denda tidak diperkenankan diatas Rp. 900.000.
Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum, pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidan formil.
2. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat ahli dibawah ini :
1. van HAMEL memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil. Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
2. van HATTUM, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum pidana materil kadang disebut juga hukum pidana abstrak). Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.
3. SIMONS, hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan.
3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum.
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orang-orang warga. penduduk negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subjek hukum anggota TNI saja.
Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahah daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai did alam PERDA, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun pemerintahan kota.
Menurut PAF. LAMINTANG, penjatuhan-penjatuhan hukum seperti tlah diancamkan terhadap setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan. Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya sseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memutuskannya. Dengan pula mengenai hukuman yang bagaimana yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti dirampasnya barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang bukti kepaa terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk memutuskannya. Tidak seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan alat-alat kekuasaannya boleh menahan, memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa mengajukan mereka ke pengadilan untuk diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan-penyitaan, pemerintah-pemerintah daerah berikut aalat kekuasaannya, terikat pada ketentuan-ketentuan seperti yang telah diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Setiap tindakan yang diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap ketentuan-ketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh HAZEWINKEL SURINGA : “di dalam hukum pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainya, tidak berwenang main ahakim sendiri”. Maka dapat dikatakan telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan jika dilakukan oleh penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa).
4. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang, yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang diluar kodifikasi yang tersebar dipelbagai peraturan perundang-undangan.
Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu daar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951.
5. Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, belanda) adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan pidana yang terdapat di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus (van HATTUM)
G. PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA
1. Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana
Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie) karena ha-hal sebagai berikut :
1. Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
2. Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalanka, barulah muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
4. Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Bedasarkan hal diatas sangatlah jelas bahwa perkembangan masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut masyarakat tersbeut, dalam praktik penerapan hukum diperlukan penafsiran.
Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Macam-Macam Penafsiran Dalam Hukum Pidana
a. Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001, menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
b. Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kenderaannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan” itu, hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No. 144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur benda (goed) dalam penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa walaupun belebihan, khusus dan teutama dalam perkara ini tentang istilah barang, dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak lain daripada barang, yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Tentu pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya pendapat itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha untuk mencapai keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa menurut bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan walaupun diakui oleh hakim yang besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan.
c. Penafsiran historis (historiche interpretatie) yaitu :
1) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2) Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
1. Penafsiran sistematis/dogmatis (systematische interpretatie), penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan. Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.
Contoh lain, misalnya pengertian perbuatan ”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal 347 KUHP, yang artinya kandungan (vucht) atau yang janin dari perut ibu bahwa vrucht yang dipaksa keluarkan itu harus dilakukan pada janin yang hidup, bukan janin yang sudah mati. Mengapa demikian ? karena jika melihat pasal 347 itu dengan menghubungkannya pada judul Bab XIX tentang kejahatan terhadap Nyawa (secaa sistematis), dimana pasal 347 itu adalah bagian dari Bab IX itu, semua objek kejahatan dalam Bab XIX adalah nyawa. Artinya, janin tadi haruslah benyawa dan tidak berlaku bagi janin yang sudah tidak bernyawa atau telah mati. Janin yang hidup dalam peut ibu yang mengandungnya dipandang sebagai satu kehidupan yang bediri sendiri yang lain dari nyawa atau kehidupan ibu yang mengandungnya.
1. Penafsiran Logis (Logische Interpretatie) adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
2. Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih ebrlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
3. Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
Walaupun banyak kalangan ahli hukum melarang menggunakan analogis karena bertentangan dengan asas legalitas namun dalam praktek hukum terjadi juga analogi misalnya (Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921) yang menganalogikan “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik sehingga dapat dijeat pasal 362 KUHP.
1. Penafsiran Esktensip, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi).
2. Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Contoh Pasal 34 KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ? Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus ditujukan kepada orang perempuan.
Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu). Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang harus dipilih ?
Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu. Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis dan teleologis.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
• Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
• Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :
1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
• Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.
• Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias Politicanya yang disempurnakan oleh Von Feurbach (1755-1833).
• Trias Politica :
1. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen.
2. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan
3. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
• Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh legislatif).
• Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya yang berjudul “Lehrbuch des peinlichen Recht”, 1801) yaitu “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan demikian. Ucapannya ini secara jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas
• Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui tentang ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.
• Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU.
• Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas “asas nulla poena” pertamakali dimuat dalam pasal 8 “Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen” (1789), semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24). Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.
• Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.
• Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara
• Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).
• Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (yakni kini KUHP), dimana juga asas legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia.
• Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan vooragegane wettelike strafbepaling).
• Asas ini dalam bahasa latinnya adalah Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”.
• Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu yaitu : 1) Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis. 2) Dalam hal untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. 3) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut (terugwerkend atau retroaktif).
• Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada kepastian hukum yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang berhadapan dengan kekuasaan pemerintahan negara
• Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah sewenang-wenangan penguasa dalam bidang peradilan pidana. Asas legalitas adalah ajaran kepastian hukum
• Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh berlaku surut.
1) Hukum pidana harus tertulis :
• Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru kemudian diberlakukan.
• Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang.
• Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materiil termasuk peraturan pemerintah,peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri, keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana.
Kelemahan :
• Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang masih hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam peraturan tertulis ini.
• Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah penting.
2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam Hukum Pidfana
• Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret tertentu.
• Norma-orma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran
• Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya.
• Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran historis, penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan penafisran analogis.
• Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.
• Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada latar belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan penguasa melalui para hakim.
• Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai mamfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
• Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.
• Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke dalam ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut.
• Dengan kata lain, analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian/peristiwa lain yang tidak termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.
• Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau trem sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat pula diterapkan ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini (Wirjono Prodjodikoro).
• Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.
• Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881) dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan.
• Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipidahkan kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu dengan memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada benda-benda berwjud dan bergerak saja. Aliran/energi dari sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan, karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan mempunyai nilai bagi manusia (Satochid Kartanegara, 172).
• Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921 yang meganalogikan aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP (pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut keterangan dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita) terbatas pada benda-benda bergerak (roerent goed) dan benda-benda berwujud (Stoffelijk goed).
3) Hukum pidana tidak berlaku surut
• Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimat yang menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP)
• Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yg melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
• Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat disimpulkan dari kalimay yg menyatakan “…..ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).
• Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi “bilamana ada perubahan dalam peraturan perUUan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yg paling menguntungkan”. (Disini mengandung keadilan)
• Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas). Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)
• Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1) Harus ada perubahan perUUan mengenai suatu perbuatan,
2) Perubahan tersebut terjadi setelah perbuatan dilakukan, dan
3) Dimana peraturan yangg baru itu lebih menguntungkan atau meringankan bagi pelaku perbuatan itu.
B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN ORANG
• Batas diberlakunya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.
• Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu :
1. Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara
2. Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet aktif atau asas subjektif (subjektions prinzip)
3. Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif
4. Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan
Asas teritorialiteit :
• Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan pidana di dalam lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP tidak berlaku bagi mereka yang memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”ekstrateritorial”.
• Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Inbdonesia”
• Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut maupun udara.
• Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah selat (selat malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.
• Sedangkan tindak pidana di air dan udara diatur dalam pasal 3 dan UU no. 4 tahun 194, dimana disebutkan “ketentuan pidana perudang-undangan Indonesia berlaku bagi setaip orang yang diluar Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kenderaan air atau pesawat udara Indonesia
Asas Personaliteit :
• Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet.
• Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP
• Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang diluar Indonwesia melakukan :
1. Salah satu kejahatan tersebut dlm Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451 KUHP
2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana
• Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
• Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).
• Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yg terjadi kepada setiap warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tsb.
• Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tsb harus berupa kejahatan bukan pelanggaran dan perbuatan tindak pidana tsb oleh negara dimana perbauatan tsb dilakukan juga merupakan perbuatan pidana yg dapat diancam.
• Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.
• Selanjutnya dalam pasal 6 berbunyi “berlakunya pasal 5 ayat 1 ke 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jiak menurut perundang-undangan negara dimana perbauatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati”.
• Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat Indonesia yg diluar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.
• Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan perbuatan yg diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara yg bukan pejabat.
• Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana dimaksudkan dlm bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yg tersebut dlm peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupunn dalam ordonannsi perkapalan (schepnordonantie, 1927).
• Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)
Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif
• Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara.
• Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur dalam pasal 4 KUHP
• Pasal 4 berbunyi “ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yaitu salah satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131.
• Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dll
Asas Universaliteit :
• Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan sekedar kepentingan bangsa Indonesia
• Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang negara lain yang bukan uang negara Indonesia
• Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional. Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.
BAB III
JENIS-JENIS PIDANA
• Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok sebagai berikut :
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
• Sedangkan pidana tambahan adalah
1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2. Pidana perampasan barang-barang tertentu
3. Pidana pengumuman putusan hakim
• Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
• Antara pidana pokok dan tambahan mempunyai perbedaan yaitu :
1. Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif
Penjelasan :
Apabila dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan.
Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Penjelasan :
Sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.
Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.
Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada juga pengecualiannya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti pasal 39 ayat 3 dan 40.
3. Jenis pidana pokok yag dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)
Penjelasannya :
Pengecualiaannya adalah apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak2 tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Ole karena itu, berjalannya/dijalankannya putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.
• Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan).
• Hal ini dapat dilihat sbgmana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana dijelaskan bahwa :
1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sbg bersifat alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata atau.
• Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi tindak pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No 7 (drt) 1955 (UU tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak pidana korupsi), UU Narkotika (UU No. 22 tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10 tahun 1998), dll
1. Pidana mati (Pasal 11 KUHP)
• Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.
• Di Indonesia sejak tahun 1918 masi diberlakukan pidana mati.
• RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi masih dicantumkan tapi bukan dalam pidana pokok, hanya dikategorikan pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.
• Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.
• Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai sekarang masih diberlakukan pidana mati.
• Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya :
1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129)
2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340 KUHP
3. Kejahatan terhadap harta benda yg disertai unsur/faktor yg sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2)
4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444)
• Adanya pidana mati oleh pembentuk KUHP dalam penerapan harus hati-hati, tidak boleh gegabah karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia.
• Untuk itu dalam KUHP pasal pidana mati selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur hidup, pidana 20 tahun, misalnya pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dll sedangkan diluar KUHP pidana mati diatur dalam UU 26 tahun 1999 (subversi), UU 22 tahun 1997 (Narkotika, 80, 81, 82), Pasal 59 UU No 5 tahun 1997 (Psikotropika).
• Eksekusi pidana mati dulu dengan cara digantung (Pasal 11 KUP) telah dihapuskan diganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
1. Pidana penjara (Pasal 12 – 17 KUHP)
• Berdasarkan pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni pidana penjara dan kurungan.
• Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semaua peraturan tata tertib yang berlaku.
• Selintas antara pidana penjara dan kurungan sama namun ada perbedaan yang cukup jauh
• Perbedaan yang paling menonjol adalah pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringannya sebagai berikut :
1. Ancaman pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana yg ringan sedangkan ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yg lebih berat. Pidana kurungan hanya terhadap tindak pidana pelanggaran sedangkan pidana penjara terhadap tindak pidana kejahatan.
2. Ancamam maksimum pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan 1 tahun kecuali residivis ditambah tidak lebih dari 4 bulan lagi. Pidana penjara bisa ditambah menjadi 20 tahun apabila perbuatan tersebut memberatkan (pembarengan pasal 65) dan residivis.
3. Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (Pasal 69 KUHP).
4. Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara. Akan tetapi pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti (Pasal 30 ayat 2).
5. Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di Lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindahkan), sedangkan pidana kurungan dilaksanakan hanya di LAPAS dimana vonis hakim dibacakan/berdasarkan tempat kediaman terdakwa (tidak dapat dipindah), atau apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman, pidana kurungan dilaksanakan dimana tempat ia ada pada waktu itu, kecuali ia memohon untuk menjalani pidana ditempat lain dan menteri kehakiman mengijinkannya. (Pasal 21 KUHP)
6. Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidapidana penjara lebih berat dari pekerjaan2 yang diwajibkan pada narapidana kurungan (Pasal 19 KUHP)
7. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekedar meringankan nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (hak pistole, pasal 23 KUHP)
Pidana penjara ada bersifat seumur hidup dan pidana penjara sementara.
Pidana seumur hidup adalah pidana yang harus dijalani terpidana selama-lamanya didalam penjara sampai dengan ia meninggal dunia di penjara tersebut.
Sedangkan pidana sementara adalah pidana yang dijalani terpidana paling sedikit 1 hari dan paling lama 15 tahun atau 20 tahun jika perbuatan pidana yang dilakukan dengan pemberatan.
1. Pidana kurungan (18 – 29 KUHP)
• Pidana kurungan ada suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa karena telah melakukan tindak pidana pelanggaran
• Pidana kurungan dijatuhkan serendah-rendahnya 1 hari dan paling lama 1 tahun dan dapat ditambah lagi 4 bulan apabila terdakwa seorang residivis.
• Menurut Pasal 23 KUHP “Orang yg dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan ongkosnya sendiri menurut peraturan yg akan ditetapkan dalam ordonansinya (LN 1917 No. 708 = peraturan kepenjaraan, khususnya psl 93)
• Perbaikan nasib dengan ongkos sendiri ini biasa dinamakan hak pistole. Perbaikan tsb misalnya mengenai makanan dan tempat tidurnya. Candu, minuman keras, anggur dan bir hanya dapat diberikan bila dianggap perlu oleh dokter penjara.
D. Pidana denda
• Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.000
• Apabila tidak dibayar dendanya diganti dengan hukuman kurungan (ayat 2)
• Lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan dapat ditambah paling tinggi 8 bulan (Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)
• Pidana denda diterapkan pada pelanggaran sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata ’atau’)
Keistimewaan pidana denda :
1. Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan pidana lainnya (misalnya penjara) tidak.
2. Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan (Pasal 30 ayat 2 KUHP), maka sering dalam putusan hakim membuat pidana alternatif selain kurungan juga ada pidana kurungan pengganti. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya dan lamanya pidana kurungan pengganti adalah minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
3. Penerapan pidana denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan maksimum tergantung pada rumusan pidana, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 150.00,-
Mengapa terhadap pidana denda perlu adanya jaminan penggantinya ?
• Karena dalam pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan denagan paksaan secara langsung seperti penyitaan atas barang-barang terpidana. Ini berbeda dengan perkara perdata yg dilakukan pelelangan setelah disita pengadilan.
Kapan denda harus dibayar ?
• Yaitu jika divonis pidana denda, maka paling alama 1 bulan terpida harus mebayar denda tsb kecuali acara cepat harus seketika dilunasi (misalnya perkara lalu-lintas). Sementara dapat diperpanjang lagi 1 bualn apabila ada alasan kuat (Pasal 273 ayat 1 dan 2 KUHP).
• Pidana denda dibayarkan menjadi kas negara. Untuk itu setelah kejaksaan menerima harus segera di setor ke kas negara.
• E. Pidana Tutupan
• Diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 20 tahun 1946 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
• Selanjutnya pada ayat 1 dinyatakan pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu cara melakukan perbuatan itu aatau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
• Tempat untuk menjalani pidana tutupan adalah rumah tutupan (PP No. 8 tahun 1948).
• Rumah tutupan lebih baik dengan rumah tahanan dari segi fasilitasnya, misalnya maalah makanan.
• Pidana tutupan sama juga dengan pidana penjara hanya beda dari fasilitasnya.
• Jadi orang yang menjalani pidana tutupan adalah perbuatan pidana yang terdorong oleh maksud yang patut dihormati, kriterianya diserahkan kepada hakim.
• Dalam praktek pidana tutupan hanya terjadi 1 kali saja yaitu putusan Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 17 Mei 1948 yaitu perkaa kejahatan peristiwa 3 Juli 1946.
F. Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu
• Pasal 35 ayat 1 KUHP mengatur tentang pidana pencabutan hak-hak tertentu :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu (jabatan publik, seperti Bupati, dll).
2. Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan bersenjata / TNI
3. Hak memilih dan dipilih yg diadakan berdasarkan aturan2 umum
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan mata pencaharian
• Pasal tindak pidana yg mengaturnya adalah pasal 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
• Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali yang bersangkutan dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati.
Lama waktu hakim menjatuhkan pencabutan hak-hak tertentu (Pasal 38 KUHP) :
1. Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak2 tertentu berlaku seumur hidup
2. Bila pidana pokok yg dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak2 tertentu paling lama 5 tahun dan minimun 2 tahun lebih lama daripada pidana pokoknya
3. Jika pidana pokok yg dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak2 tertentu adalah paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
G. Perampasan Barang-Barang Tertentu
• Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan seperti dalam kasus perdata.
• Pasal 39 KUHP berbunyi , “Barang kepunyaan terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan akan dirampas ”, misalnya uang palsu diperoleh dengan kejhatan, golok, senjata api, dll. Jika bukan milik terhukum tidak boleh dirampas.
• Ada 2 jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana yaitu :
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran) yang disebut dengan Corpora Delictie misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang.
2. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang disebut dengan instrumenta delictie misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
• Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu yaitu :
1. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap 2 jenis barang tersebut dalam Pasal 39 itu saja.
2. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim pada kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran, kecuali pada beberapa tindak pidana pelanggaran, misalnya Pasal 502, 519, 549 (jenis pelanggaran)
3. Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana tadi. Kecuali ada beberapa ketentuan
a) Yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana (Pasal 250 bis),
b) Tidak secara tegas menyebutkan terhadap, baik barang milik terpidanaatau bukan (misalnya pasal 275, 205, 519)
H. Pengumuman Putusan Hakim
• Pidana pengumuman putusan hakim hanaya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh UU, misalnya terdapat dalam Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.
• Dalam pidana ini hakim bebas perihal cara melaksanakan pengumuman, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.
• Pasal 43 KUHP, “Dalam hal-hal yang hakim memerintahkan mengumumkan keputusannya menurut kitab UU umum yg lain, ditentukjannya pula cara bagaimana menjalankan perintah itu atas ongkos siterhukum”, misalnya melalui surat kabar dengan ongkos terhukum.
• Maksud pidana ini adalah sebagai usaha preventif agar tidak melakukan perbuatan seperti orang tersebut dan agar berhati-hati bergaul dengan orang tersebut (terhukum).
I. Penjatuhan Pidana Bersyarat (voorwaardelijke veroordeling)
• Istilah penjatuhan pidana besyarat bukanlah jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP, karena istilah ini diatur dalam pasal 14a KUHP. Lebih tepat istilah ini adalah pidana dengan bersyarat.
• Pidana dengan bersyarat dalam praktek hukum sering disebut dengan pidana percobaan.
• Pidana percobaan/bersyarat adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu.
• Artinya pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggar. Misalnya jika terpidana tersebut yang diminta hakim tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan pidana maka selama masa poercobaan tersebut terpidana tidak boleh melakukan perbuatan pidana dalam bentuk apapun. Jika terbukti melakukan perbuatan pidana lagi maka hukumannya bisa ditambah karena terdakwa seorang residivis.
• Mamfaat penjatuhan pidana dengan bersyarat adalah memperbaiki penjahat tanpa harus memasukkannya ke dalam penjara artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya dalam arti bukanpenjahat sesungguhnya. Misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena butuh uang untuk mengobati orang tuanya yang luka karena kecelakaan, kejahatan culpa (kelalaian), dll
Dalam pasal 14a KUHP ditentukan bahwa hakim dapat menetapkan pidana dengan bersyarat dalam putusan pemidanaan apabila :
• Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun
• Hakim menjatuhkan pidana kurungan (bukan kurungan pengganti denda maupun kurungan pengganti perampasan barang)
• Hakim menjatuhkan pidana denda, dengan ketentuan yaitu : a). Apabila benar-benar ternyata pembayaran denda atau perampasan barang yang ditetapkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana, dan b). Apabila pelaku tindak pidana yang dijatuhi denda bersyarat itu bukan berupa pelanggaran yang berhubungan dengan pendapatan negara.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

URGENSI PERUBAHAN PARADIGMA KEPOLISIAN INDONESIA (Dari Model Konservatif Menuju Polisi Yang Humanis)

  1. Latar Belakang

Era Reformasi telah bergulir selama dua belas tahun di Indonesia yang menginginkan perubahan besar dalam segala tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Demikian pula halnya terhadap law enforcement yang dilakukan oleh para legal officer yang salah satunya adalah polisi sebagai bumper terdepan dalam sistem penegakan hukum pidana.

Berbagai langkah telah dilakukan sebagai suatu kebijakan dalam rangka perubahan baik secara kelembagaan maupun secara personal kepolisian, misalkan saja dari aspek kelembagaan kepolisian sejak April 1999 secara resmi telah keluar dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dan ABRI. Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan dikeluarkannya kebijakan lain berupa TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI.

Dari aspek personal anggota Kepolisian Republik Indonesia juga telah dilakukan upaya perubahan (meskipun perubahan itu tidak dalam tataran yang baik), misalkan saja perubahan fungsi dan tugas polisi dari fungsi penegakan hukum menuju fungsi pelayanan dan perlindungan hukum (perhatikan UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).

Namun perubahan terhadap lembaga yang satu ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, problematika yang dihadapi negara dalam perubahan ini sangat kompleks, mulai dari persoalan kelembagaan yang masih berasa sentralistik (kebijakan pengangkatan jabatan, keuangan ataupun managerial), sampai pada persoalan perilaku personal yang menurunkan derajat / citra kepolisian itu sendiri (polisi brutal, polisi korup, atau perilaku lain yang menyimpang).

Reformasi kepolisian sebenarnya merupakan salah satu item kecil dari perubahan Konstitusi Negara Republik Indonesia yang pada dasarnya telah meletakkan konstruksi besar suatu perubahan. Sebagai Negara Hukum (rechtstaats) yang juga mengenal sistem kekuasaan (machtstaats) dalam rangka menjalankan hukum, maka sudah seharusnya perubahan-perubahan pada semua lembaga (termasuk kepolisian) harus berdasarkan pada 3 prinsip dasar negara hukum, yaitu a) mengedepankan supremasi hukum; b) penegakan hukum didasarkan pada asas equality before the law; dan c) menyelesaikan masalah hukum tanpa melanggar hukum.

Memperhatikan 3 prinsip dasar negara hukum tersebut yang dikaitkan dengan model penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan hukum yang dilakukan polisi, maka sampai hari ini kita masih merasakan penyimpangan perilaku personal dan lembaga kepolisian. (contoh paling baru adalah rekening gendut beberapa perwira tinggi dan sistem pengangkatan Kapolri baru). Belum lagi banyaknya hutang polisi dalam penyelesaian kasus-kasus.

Satu persoalan penting yang patut menjadi perhatian semua dalam melakukan perubahan lembaga ini adalah masih kuatnya model konservatif sebagai paradigma kepolisian di Indonesia, baik dalam tugas-tugas maupun dalam hubungan antar lembaga dan masyarakat. Konservativism telah menjadikan polisi menjadi alat politik kekuasaan (sifat positivis-intrumentalis), sehingga menyulitkan lembaga ini untuk keluar dari pengaruh kekuasaan, terutama eksekutif, padahal kita menginginkan polisi yang profesional yang responsif-populistik. Sepanjang paradigma kepolisian masih bersifat konservatif, kita jangan terlalu berharap banyak terjadinya perubahan yang signifikan pada lembaga ini, kita hanya bisa menjadi penonton dagelan polisi yang dimainkan oleh dalang kekuasaan. Untuk itu menjadi penting bagi kita semua melakukan lompatan besar dalam mereformasi kepolisian, terutama perubahan paradigma lembaga tersebut.

Paradigma yang mempuni untuk mengatasi masalah ini adalah paradigma humanis yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari kehidupan sosial yang harmonis, landasan paradigma ini adalah moral bangsa yaitu Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pancasila telah memberikan pandangan keadilan yang humanistik dalam lingkaran sosial. Sebagai masyarakat komunal, sudah barang tentu nilai sosial yang berbasis humanis akan memberikan keadilan fairness. Untuk itu lembaga penegakan hukum juga harus berbasiskan humanistik. Karena dengan paradigma humanis ini, semua tindakan kepolisian, baik kelembagaan maupun personalnya harus didasarkan pada moral bangsa yang mengedepankan nilai kemanusiaan.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Penipuan Undian Wafer Tanggo Mobil Nissan MARCH

Mohon ditindak lanjuti Undian Wafet Tanggo Setelah membeli Wafer Tanggo tadi pagi 13 Januari 2012 di daerah Krian Sidoarjo Jawa Timur. saya mendapat kupon undian dilam bungkus wafer tanggo, terdiri dari 3 lembar kupon: 1. kupon kuning dari Polda Metro Jaya tertanda Dit Lantas Polda Metro Jaya Drs. Zainal Arifin SH Nrp.60100746 2. kupon putih dari PT. Ultra Prima Abadi JL. Palmerah Barat No.9 Gelora Jakarta Pusat. Tlp 02140224857 3. kupon kecil yang menyatakan keaslian undian. setelah saya menghubungi nomer Telpon PT. Ultra Prima Abadi 021 40224857, diterima oleh Drs. Sugeng Haryono. dan di arahkan untuk membayar biaya formalitas ke Bendahara Polda Metro Jaya untuk administrasi BPKB Mobil Nissan MARCH. jika mobil sudah dikirim, uang tersebut akan dikembalikan. setelah saya melihat berita hari ini di http://nasional.inilah.com/read/detail/1816287/tertipu-undian-wafer-tango-rp-67-juta-amblas terdapat kesamaan hadiah dan daerah dengan saya (Sidoarjo), saya hampir saja terkena penipuan Undian berhadiah berkedok Undian Wafer Tanggo. Mohon ditindak lanjuti, dan segera terungkap pelakunya. lebih berhati-hati kepada masyarakat terhadap berbagai undian yang mengatasnamakan Produk-produk tertentu dan membawa nama POLDA METRO JAYA.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.
Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar